Followers

Rabu, 19 Desember 2012

Profil Mehong



Saya hanya seorang perempuan biasa seperti perempuan pada umumnya.Ya hanya sedikit aneh. Namun tetap normal. Merupakan salah satu alien unyu yang diutus untuk turun ke bumi. Memata-matai manusia-manusia aneh di bumi. membuat imajinasi tanpa batas, berkarya, dan berbagi cinta.

Nama                : Intan S. Putriani (tapi sebenernya nama aslinya Jessica Mehong)
TTL             : Mars (tepatnya di RSUD Cibabat), 16 Maret 19xx
Alamat       : Sebelah rumahnya Pa Dosen, di deket pertigaan yang dulunya tempat sosorodotan ulinan barudak, yang rumahnya warna-warni kayak TK yang muridnya cuman 5 orang, yang nama pa RT nya Agus. Ehhmm..itu tuh di pinggiran jalan tol, kalo dari unjani atau brigif tinggal nyebrang di jalan tol dan kemudian di amuk petugas jasa marga yang lagi patroli. Pokonya kalo ngga tau juga, tanya aja, dimana rumahnya anak tukang sate yang suaranya merdu kayak botol kecap jatoh dari meja, yg mukanya glow in the dark, dan pastinya spektakulerrrrrrrr.
Hobi            : Bikin penasaran, kepoin orang, nulis n gambar, liatin kumis orang
Cita-cita   : Jadi istrinya ustad (anaknya ustad juga gapapa deng), sukses dunia akhirat (amiiiiiiiiiinnnn)
Makanan Fav      : berlian panggang, dan ngemil buku-buku romantis
Idola          : Teuku Wisnu si manis kumis tipis dan Shreen Sungkar si mancung manis abis (kamu-kamu-kamu lagiii……)
Moto Hidup        : Makan ngga makan asal kenyang
Phone         : ngga punya BB, android pun ngga punya, apalagi I-phone
Email          : intanmehong@gmail.com
                   Tanzz_holic@yahoo.com
                   Kalo yang mau tanya atau mau sharing tentang segala rupa yang penting atau ngga penting, mau tanya atau pengen di tanya, mau kenalan atau males buat kenalan, email aja yaaaa…dan dapetin hadiah menarik cepet buat pengirim email terSpekta, hadiah berupa doa spesial edition dari mehong, biar cepet kaya dan enteng jodoh.

Selasa, 04 Desember 2012

Tangan Langit Malam (part-1)



Ini bukan pertama kali. Entah sudah berapa episode Aku merasa menjadi orang paling penakut di muka bumi. Bahkan di saat aku sedang bersama orang-orang terdekatku. Sekalipun itu dalam keramaian. Mereka..wajah-wajah itu, entah mengapa selalu tak sengaja kulihat. Berlari, berdiri, terduduk, terdiam, mereka mengoyak ketenanganku. Hebat? Tidak. Sama sekali tidak. Aku ingin menjadi biasa. Apapun yang terjadi padaku. Bertahan untuk tetap seperti ini dan mulai menganggap biasa. Atau bahkan tidak sama sekali.

Malam yang panjang. Selesai sudah aku mengikuti kegiatan himpunan yang menyita hampir separuh energi dan pikiranku. Tubuhku rasanya ingin segera menjatuhkan diri di atas ranjang merah muda di kamar kosan. Tapi aku masih saja terus bercengkrama dengan beberapa teman ku yang sepertinya sama lelahnya dengan ku di koridor  Tak ada yang aneh. Semuanya tampak biasa.

Beberapa dari kami mulai membuka obrolan tentang senior-senior yang galak dan mengerikan.  Hari itu memang senior-senior ku yang berlaku sebagai tim Sadis benar-benar terlihat seperti algojo yang diutus untuk  menyiksa dan menguji mental seluruh mahasiswa angkatan ku. Dan tentunya aku pun tak luput dari kemarahan dan makian para senior. Walau akhirnya, semua kondisinya menjadi baik-baik saja.

Sudah semakin malam. Anjng-anjing kampung di kampus sudang terdengar semakin bersuara liar. Bahkan ku lihat di sekitar tempat kami berkumpul sudah semakin sunyi. Tak ada keramaian yang tampak seperti sebelumnya. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk segera pulang dan beristirahat. Kemudian kami pun bersama-sama berjalan menuju tempat parkir di dekat gedung merah.  Sepanjang kami berjalan, hanya lampu-lampu temaram dan cahaya bulan yang menaungi langkah aku dan 7 temanku.
                                                                                                                               
Dan sampailah aku di depan sebuah gedung yang mereka sebut itu Ikasi. 2 orang temanku memutuskan untuk kembali ke lokasi tempat kegiatan kami barusan, sedangkan aku dan 5 orang lainnya terus berjalan menuju parkiran. Tapi..sebentar. Aku melihat seseorang berjalan 3 meter di samping kiri kami dalam kegelapan. Aku mencoba memicingkan mataku untuk melihat wajah itu lebih jelas. Tapi tetap saja gelap dan tak terlihat jelas. Kaki itu..ya kaki itu terlihat semakin tinggi. Dan aku segera menggenggam tangan teman di sampingku. Ku genggam erat-erat, sangat erat.
“Mey, kau baik-baik saja” tanya Dita, temanku.
“hemh..” aku menganggukan kepala.
Aku terus bicara dalam hati, memaki diriku sendiri. ‘hey, berhenti berimajinasi. Berhenti melihat apa yang seharusnya tak kau lihat. Tutup matamu!!!’. Tapi aku terus saja melihat ke arah itu. Sosok itu, tak berhenti mengikuti kami berjalan. Tapi tubuh hitam itu, semakin menjulang tinggi. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Ingin bicara dan menunjukkan pada teman-temanku atas apa yang sedang kulihat ini. Tapi mulutku, terkunci rapat-rapat. Langkahku berat. Lututku rasanya hampir telepas dari tempurungnya. Aku berdoa dalam hati. Membaca ayat suci yang ku ingat saat itu. Berharap aku bisa menaklukkan ketakutanku sendiri. Dan akhirnya…selesai. Sosok itu tak kulihat lagi.

Nafasku hampir habis karena kejadian itu. Tenaga ku melemah separuh dari sebelumnya. Tapi aku harus kembali fokus. Karena perjalananku belum selesai. Aku harus pulang membawa motor sendirian malam itu. Sendirian.

“Mey, kamu yakin tak ingin menginap di kosan ku?” tanya Feli.
“hemh, tidak Fel. Biar aku pulang saja. Lagi pula aku tidak membawa pakaian ganti” jawabku.
“yasudahlah kalau begitu. Hati-hati di jalan. Kabari aku jika sudah tiba di rumah”
“yap, thanks Fel. Oke semuanya..aku pulang duluan ya” aku berpamitan untuk pulang lebih dulu dari mereka.

Perjalanan pulang ke rumah pun di mulai. Entah sudah jam berapa saat itu. Tapi yang jelas, aku tidak melihat kendaraan lain ramai berlalu lalang di sekitar ku. Hanya beberapa titik lampu dari kejauhan yang kulihat samar-samar. Dan tiba-tiba aku teringat pada pesan salah seorang teman ku.
“jika suatu malam kamu berkendara sepeda motor sendirian saja melewati jalan depan kampus, maka jangan sekali-sekali kamu melihat kaca spion untuk melihat kebelakang”. Hemhh..entah karena apa teman ku bicara seperti itu. Tapi kalimat itu membuat nyaliku menciut seketika saat itu. Ingin sekali aku tancap gas dan segera meninggalkan jalan itu dengan kecepatan tinggi. Tapi aku tidak sanggup. Ketakutanku membuatku menjadi lemah dan lelet. Tanganku bergetar hebat. Belum selesai dada ku dibuat berdegup karena kejadian di depan Ikasi, dan sekarang aku harus di hadapkan dengan ketakutan lain di luar kampus.

Mataku mulai menjadi sompral. Rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku. Sekitar 7 meter dari pintu klinik kampus, aku menjatuhkan pandanganku ke arah kaca spion. Waktu rasanya seperti terhenti beberapa saat. Telingaku seperti tak mendengar suara apapun. Nafasku melambat. Aku terdiam melihat kaca spion motor ku. ……………..disana…..di kaca spion motorku…………tak ada hal yang aneh. Semuanya biasa saja. Hanya ada pohon dan kegelapan. Aku pun kembali bernafas lega.

Tapi apa yang kulihat di depan gerbang belakang kampus 10 meter dari arahku. Sosok pria tua berambut putih lusuh dengan sebuah karung di tangannya. Wajahnya hanya menunduk ke tanah. Tak ada suara. Hanya kebisuan. Ku coba untuk memalingkan pandangan dan berharap saat aku kembali melihat sosok itu sudah pergi. Tapi rupanya tidak. Tangan itu..melambai-lambai. Seolah ingin meminta tumpangan ke arahku. Tak ada pikiran kasian dan ingin berhenti saat itu. Dada ku hampir tak kuat menahan jantungku yang terus berdegup hebat. ‘tolong, bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Ini mimpikan? Cukup..aku menyerah’. Rasanya ingin sekali aku berteriak kencang saat itu. Tapi kurasa hanya akan menjadi sia-sia. Karena tak ada seorang pun yang melintas di jalan tersebut. Dan mulutku tak berhenti berdzikir. Pikiranku kacau. Berkecamuk berbagai hal-hal mengerikan yang pernah ku lihat sebelumnya. Aku sangat ketakutan. Sampai akhirnya aku berhasil menjauh dari tempat mengerikan itu dan kembali menuntaskan perjalanan pulangku malam itu.

Keesokan harinya, tak banyak kalimat yang keluar dari mulutku. Rasanya malas sekali aku bicara dengan orang-orang di sekelilingku. Kejadian semalam membuatku merasa menjadi orang paling menyedihkan dan penakut saat itu. Aku menjadi takut untuk berlama-lama diam di tempat sepi. Bahkan di rumah pun di siang hari aku menjadi sangat sensitif terhadap cermin dan suara-suara kecil di sekelilingku. Aku tidak pernah berharap dapat melihat sosok aneh itu sejak dulu. Tak pernah sedikitpun aku berangan untuk terus melihat mereka. Aku ingin menjadi biasa, seperti teman-temanku yang biasa dan hidup normal. Tapi kenyataannya aku ya tetap aku. Dan…mereka..akan kembali kulihat.

*********

Kamis, 11 Oktober 2012

Sejarah Kodok dan Mehong part 1





Ngga pernah gue sangka, gue bakal balik lagi pada si pria berkaki gurita, KODOK. Padahal dulu, bertahun-tahun yang lalu, gue pernah ada disamping dia, tapi akhirnya gue mutusin buat lepas, dan pergi dengan alasan yang gue sendiri bingung apa dan bagaimana.  Haha…kadang gue pengen ketawa sendiri kalo nginget-inget masa itu.

Dulu, saat gue bertitle ‘Mantan si kodok’, ada beberapa kejadian yang kalo diinget-inget bikin gue ketawa atau bahkan senyum-senyum sendiri jadinya. Pernah suatu ketika, orangtua nya kodok, ngelewat di depan rumah. Dan dengan spontan, saat ngelihat orang tua gue lagi kumpul di depan rumah, mereka mampir sebentar buat silaturahmi dan cipika-cipiki. Dan ada satu kalimat celetukan dari ibu kodok “aduhh…mampir dulu ah, ini calon besan ngga jadi” dan semua orang tertawa, kecuali gue yang hanya tertawa setengah bibir karna salah tingkah dan malu. Ya, gimana ngga malu, perpisahan itu kan karena gue. Jadi gue sedikit merasa bersalah juga. Apalagi setiap ketemu ibu di pengajian, gue malu, dan canggung buat ngobrol-ngobrol. Tapi tetep gue selalu pura-pura cool dan ramah, ya untuk ngejaga silaturahmi kami semua.

Selain kejadian itu, masih banyak kejadian-kejadian lainnya. Ada satu hal yang bikin gue malu dan males pergi ke warung deket rumah gue. Hal itu adalah, olok-olok dari tetangga gue, ibu warung yang cerewet dan suka menggoda. Tiap kali gue belanja ke warung itu, gue pasti digoda dan di ejek “eehh…mehooong…gimana si aa? Udah balikan belum? Malam mingguan ngga? Biasanya suka lewat sini? Adeeeuuhhh” aaarrggghh..males gue kalo udah diomongin begituan tiap ke warung itu. Cerewet banget ni ibu-ibu rumpi. 

Taun pertama gue jadian ama kodok ini waktu gue kelas 2 SMA. Ya berawal dari kumpul-kumpul anak Tarka, rapat 17-an, sampe lama-lama anak-anak RT gue intens ketemu dan makin lama makin deket satu sama lainnya. Sampe akhirnya nimbulin benih-benih diantara kita-kita (aciyee). Dan termasuk gue. Kalo gue sih awalnya iseng aja, waktu disuatu malem anak-anak mutusin buat buka forum sharing buat tau siapa suka ama siapa. Haha dan gue nunjuk si kodok (ya karna ngga ada pilihan lagi) bwakakaka..(ampuuunn aa, ampuuunn).
Semenjak malem itu, melahirkan beberapa pasangan diantara temen-temen gue. Dan kalo gue sih baru ada tanda-tanda si kodok nempel-nempel tuh waktu ada panggung 17-an RW. Dan temen gue bilang “mehong, tuh si kodok dari tadi ngikiutin kamu terus di belakang”. Hemmh, gue sih cuek aja, karena gue ngga ngerasa si kodok ngikutin gue. Lagian gue jg ngga mau jadi berasa kegeeran sendiri.ngahaaa.

Eh, suatu hari. Waktu gue lagi jalan ama keluarga gue, hape gue yg jadul tiba-tiba bunyi. Dan lo tau apa? Ternyata ada sms dari si kodok alay. Isinya intinya sih pengen ketemu di depan rumah gue malem2 karna ada sesuatu yg pengen doi omongin ma gue. Katanya serius. Waduh, gue mulai panik. Jangan-jangan doi mau pura-pura ngajak ketemu, padahal mau nyulik. Atau bisa aja doi cuman ngirim sms kaleng, dan ntarnya pas gue nangkring di depan rumah, ternyata kaga ada siapa-siapa. Bisa kan?. Hemmhh, suudzon banget yah gue.ngihihi. Dan apa yang terjadi malam itu pemirsah?? Ternyata kodok nembak gue, dan kita jadian. Titik.

Ya itu lah masa jadian session pertama gue. Dan yang bikin geli tuh, jaman dulu saat masih jaman friendster (gue belum tau facebook), jaman nenek gue masih gahool, pacarannya gue ama kodok tuh malu-malu banget deh. Tukeran foto yang udah di cetak, yang gayanya alay  banget dah pokonya. Dan gue masih simpen foto alay kodok di rumah. Aslinya ngakak kalo di liat-liat lagi tuh foto.
 
foto alay yg di maksud bukan ini, karna yg aslinya sangat alay :D

Baru beberapa minggu gue jadian ama kodok, eh taunya gue kesambet setan galau. Dan akhirnya gue mulai ngejauh, cuek, ampe temen-temen gue juga kesel ngeliat kelakuan gue yg nyuekin kodok gtu aja. Ampe akhirnya gue nyuruh temen gue buat ngompor-ngomporin kodok biar mutusin gue. Coz gue pun sebenernya ngga tega buat mutusin kodok. Dan akhirnya alhamdulillah kodok pun nyerah (lambaiin tangan ke kamera “mas, ngga kuat mas”) dan ngelepasin gue. Walaupun doi ngga dapet penjelasan yang jelas dan pasti kenapa.



Semenjak kejadian itu, akhirnya gue jadi ngga mau ketemu sama kodok. Perasaan gue campur aduk. Ada perasaan takut, malu, ngga enak hati, merasa bersalah, aduuhh pokonya kalo gue bisa minta sih, jangan sampe kita ketemu deh walaupun kita tetanggaan. Hemmh..


Waktu berlalu gitu aja. Setelah banyak hal terjadi dalam hidup gue di masa SMA, akhirnya gue masuk juga ke masa Kuliah. Hemmh, masa dimana gue menemukan soul baru. The New Mehong…Dan entah kenapa, ada angin yang menggiring gue buat penasaran sama kabarnya si kodok alay. Ngahaha..perlahan-lahan ternyata gue mulai deket lagi ama kodok. Dulu, jaman gue masih keranjingan sama yang namanya facebook. Dan sampe akhirnya, entah gimana prosesnya, gue udah rada lupa juga, eehhh..si kodok ngajak balikan, dan kita pun jadian lagi.

Wiiiw..Dan lo tau apa? Itu terjadi di bulan yang sama seperti pertama kali gue jadian ama kodok. Bulan agustus. Di session kedua itu, gue udah rada dewasaan dikit pikirannya, jadi gue juga lumayan enjoy sama hubungan gue dan kodok. Minggu pertama, gue rajin tarawehan bareng ke mesjid komplek, minggu-minggu berikutnya pun gitu.buka bareng pula, maen pula. Sampe akhirnya kita ngelewatin hari lebaran. Gue bahkan sempet bawain oleh-oleh dari kampung buat dia n keluarga. Dan keluarganya pun tau kalo gue pacaran ama dia. 

Sampe suatu ketika, penyakit freak gue kambuh. Tiba-tiba gue pengen menghindar dari kodok. Males bales sms. Males ketemu. Aahhh..pokonya mendadak males deh. Gue juga ngga tau kenapa tiba-tiba gue kayak gitu. Sampe akhirnya kodok nyadar sama perubahan gue. Dan gue pun bikin keputusan buat putus dari dia. Dengan alesan yg gue sendiri bingung karena apa. Wadaaaaahh.
Keputusan gue ini akhirnya bikin emosi orang-orang di sekitar gue naek. Sodara gue, tante, kaka, pokonya pada ngomel dan mikir yang ngga-ngga tentang gue. Bahkan nyokap gue sendiri mikir kalo gue punya cowok laen. Padahal semua itu sama sekali ENGGA BENER. Gue bahkan ngga tau kenapa tiba-tiba hati gue berubah 180 derajat secara tiba-tiba. Dan ini udah 2x.
Okehh..semenjak kejadian ini akhirnya gue ngerasa bersalah banget. Malu sama keluarganya kodok pula. Dan sampe akhirnya gue nemuin jalan gue yang lain, dengan jadian sama temen sekelas gue di kampus. (kisah yang ini di skip aje dah)

Di tahun berikutnya, setelah gue udah putus sama temen sekelasa gue yang sekarang udah jadi mantan gue, eh..eh..ehh…magnet di bulan agustus datang lagi dooong. Lagi-lagi gue mulai deket lagi sama kodok. Perlahan-lahan gue pun sering komunikasi lewat hp atau jejaring sosial. Sampe akhirnya kita berdua janjian buat date, nonton di Braga. Saat dateng, gue masih happy. Terus beli snack, nonton, gue juga masih happy. Dan pulangnya kita berdua makan di salah satu tempat makan pinggir jalan yang cukup rame peminatnya. Dan di situ…kodok ngungkapin perasaannya LAGI..untuk session 3, di tahun ke tiga.ckckck

Gue senyum-senyum aja waktu kodok nyobekin tissue, sampe bentuknya kayak love gitu, terus di simpen di meja yang taplaknya ada tulisannya gitu. Dan ternyata tissue bentuk hati dan tulisan di meja itu, berurut menjadi kalimat I (tissue bentuk hati = love) U. wahaha. Aslinya gue seneng. Dan dalem pikiran gue, gue bakal balikan lagi ama kodok. Malem itu juga. Sampe akhirnya gue malu-malu bebek dah. Dia juga sama ngga tau malu nya malu-malunya. Terus tulisan itu dia foto pake hape gue. Dan gue diminta buat simpen foto itu. Ngihihi. Dan selesai makan, kita pun jalan menuju braga buat ambil motor. Dan saat jalan kaki itulah, doi nanya gimana jawaban gue. Ehhhmm, gue mendadak galau. Aslinya, gua mau bilang IYAH. Tapi, tiba-tiba ada setan galau yang bikin gue ragu buat jawab malem itu. Dan akhirnya, jawaban di pending, dan gue minta dia buat ngeyakinin gue kalo dia bener-bener sayang (aciiyyeeeee). Eh, taunya malem-malem kodok update status yang isinya isi hati dia yang sayang banget (ge-er) sama gue. Dan lo tau apa yang gue lakuin??? Gue jawab ENGGA. Argh, gue gila banget dah. Parah nih tengilnya. Bikin kesel orang, bikin kecewa orang. Aduuhhh parah deh. Padahal, kemarennya gue hampir bilang iya. Tapi ternyata awan mendung ada di otak gue, sampe akhirnya gue jadi pemeran antagonis, balennya miska deh pokoknya.










.....TO BE CONTINUED........

Jumat, 31 Agustus 2012

The Silent of Office



Ini hari ke 83 Luki bekerja di kantor itu. Ia masih bingung dengan apa yang teman-temannya bicarakan. Kepergian Fanesa, sahabat barunya, terlalu mendadak dan tidak jelas kemana. Teman sebelah mejanya berkata, Fanesa mungkin sudah kembali ke rumah ibunya di Vietnam. Tapi sebagian yang lain berkata… Fanesa selalu duduk di mejanya, padahal dia tidak lagi di kantor itu atau mungkin ia sudah pergi di telan bumi.

***
 
“ah, kenapa lagi ini?!” Luki mengeluh keras
“kenapa lagi ki? Programnya eror lagi? Kok gitu terus ya, mungkin harus di upgrade lagi” Fanesa bicara sambil terus menatap kerjaannya di layar komputer.
“tau nih, stres. Aku udah 75% ngegambar, dan hari ini harus approve, dan ternyata…error lagi. Sial!!”
“hemmh, sabar”
“aargh, kyaknya besok aku bakal komplen sama pa Joy, cape banget kalo tiap hari kayak gini terus” Luki tampak stres, rambutnya di koyak-koyak sampai sedikit berantakan.

Hari itu Luki sudah mengeluh yang ke tiga kalinya. Setelah sebelumnya ia mendapat teguran dari Project Manager dengan keterlambatan gambar yang ia buat. Fanessa hanya tersenyum tiap kali mendengar Luki mengeluh dan komat-kamit sendiri. Dan teman-teman kerja yang lain tidak mempedulikan apa yang terjadi pada Luki.

Adzan maghrib terdengar samar-samar dari mesjid yang jaraknya cukup jauh dari lokasi kantor itu. Pak Warno pernah berkata, “Ojo sekali-sekali koe  nyetel musik ne’ wes krungu adzan maghrib, percoyo karo aku! (jangan sekali-sekali kamu memainkan musik jika sudah terdengar adzan maghrib, percaya sama saya!) “. Luki pun masih sangat ingat dengan ucapan pak Warno. Ia bahkan memperingati Fanesa untuk mematikan ipod nya yang sejak siang headsetnya terus menempel di telinganya. Sebenarnya Fanesa sedikit kesal dengan sikap Luki yang setiap hari terus memperingati dia untuk berhenti mendengarkan musik. Tapi ia pura-pura setuju karena ia tau, Luki adalah satu-satunya teman kantor yang mau menjadi sahabatnya.

Entah apa maksud dari ucapan pak Warno itu. Ia hanya bilang “Pamali”. Dan kebetulan sekali Luki yang merupakan keturunan jawa, mempercayai segala hal yang berbau pamali atau sakral lainnya. Kantor itu memang sudah banyak dibicarakan orang. Lokasinya yang berada di pinggiran jalan tol, dan dibelakangnya terdapat lahan kosong berumput yang cukup luas, terbilang cukup sepi untuk ukuran sebuah kantor besar. Sudah 73 hari Luki bekerja di tempat itu. Dan ia sudah tau, ada sesuatu yang selalu membuatnya berbalik tiba-tiba. Sesuatu yang enggan ia sebut saat berada di kantor selepas adzan maghrib. Dan ia bahkan, selalu pura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Akibat program komputernya yang error, akhirnya Luki terpaksa harus mengulang semua pekerjaannya malam itu. Fanesa yang merasa kasihan melihat sahabatnya stres, akhirnya memutuskan untuk ikut lembur bersama Luki. 

“thanks ya Nes, kamu mau nemenin aku”
“iya ngga papa, lagian kemaren-kemaren juga kamu yang suka nemenin aku lembur kan”

Luki tersenyum melihat Fanesa yang lebih dulu tersenyum bicara dengannya. Malam itu mereka hanya berempat saja di kantor besar itu, mereka, seorang security yang berjaga di bawah, dan seorang office boy yang jarang sekali nampak di ruang kerja. 

Sepi, hanya itu yang tergambarkan. Tak ada musik, karena Luki masih mempercayai kata Pamali. Fanesa hanya asik sendiri dengan games angry bird di komputernya. Dan Luki, sibuk dengan pekerjaannya. Seperti tak ada suara selain suara mouse, keyboard dan suara nafas mereka.Tapi kemudian, terdengar suara telepon kantor berdering memecah keheningan kantor itu. 

‘KRIIIIIING….KRIIIIIIIING…’

“duh, sapa sih ni, udah malem juga masih aja nelpon kantor” gerutu Luki sambil beranjak dari kursinya untuk menghampiri telepon yang terus berteriak di tempatnya.
“udah, angkat aja sana!” seru Fanesa
Kemudaian Luki mengaangkat telepon itu “halloo..selamat malam”
‘tuuuuuttt….ciittt’
Tak ada jawaban, hanya suara mesin yang terdengar.
“halo..halo..halo…” luki berkali-kali mengucapkan halo, tapi tak di jawab.
“siapa ki?”
“ngga tau, ngga ada jawaban. Cuman ada suara tuuuuuttt terus ciiiiyyyytt”
“ooh, itu fax ki. Kamu tutup teleponnya sekarang, terus teken tombol biru yang deket tanda bintang!”
“ooohhh, iya iya. Siip” kemudian Luki mencoba petunjuk yang di berukan Fanesa. “ hemmh, aku pikir telepon misterius, haha” Luki tertawa.
“ah kamu ni, ada-ada aja” Fanesa balas tertawa.

Kemudian Luki membiarkan mesin Fax beroperasi sendiri. Ia segera kembali duduk di mejanya dan melanjutkan pekerjaannya. Entah berapa lembar kertas yang keluar dari mesin fax. Luki dan Fanesa bahkan tak peduli dengan kertas-kertas itu. Mereka hanya fokus dengan layar komputernya masing-masing.

2jam berlalu mereka masih menjadi penghuni terakhir kantor itu. Sudah jam 23.45. Biasanya Fanesa sudah berada jauh di alam mimpi, di kamar kosannya. Tapi tidak dengan malam itu. Ia memang sudah sangat mengantuk sekali. Matanya merah dan sayu. Entah sudah berapa kali ia menutup mulutnya karena ia terus-terusan menguap.

“Ki, pengen pipis. Anterin yu..!” pinta Fanesa.
“Duh, tanggung nes, bentar lagi ya”
“emmhh..udah ngga kuat. Ayo lah..” Fanesa terus membujuk sambil memegang perutnya sambil menahan ingin buang air kecil.
“aduhh..seriusan, ini tanggung banget. Ntar keburu lupa lagi yang mau di gambarnya” Luki beralasan lagi.
“iihhh, Luki. Yaudah deh sendiri aja.hehe” Fanesa tersenyum kuda.
“yakin nih Nes, ga mau nunggu aku bentaran?” tanya Luki sambil membalikkan badannya melihat Fanesa yang berlari kecil menuju Toilet.
“Iyap..its oke maplen” jawab Fanesa terburu-buru sambil mengangkat jari jempolnya.

Akhirnya Luki membiarkan fanesa pergi sendirian ke toilet. Sebenarnya, Luki tidak ingin di biarkan sendiri saja di ruang kantor itu. Ya, sebelum-sebelumnya dia memang sudah beberapa kali merasakan hal-hal yang tidak wajar di kantor itu. Tapi ia selalu memegang pesan mendiang eyangnya untuk tidak pernah menceritakan segala hal yang tabu dan di luar nalar di tempat kejadian dari cerita itu. Hingga malam itu pun, ia masih terus menutup mulut.
‘brak’ suara buku terjatuh di meja Aldo. Mata Luki tajam-tajam mencari sumber suara itu. Ia hanya berdiri dan melihat dari tempatnya saja. Jantungnya masih biasa saja. Setelah melihat buku yang tergeletak di bawah depan meja Aldo, ia kemudian kembali duduk dan mengerjakan pekerjaannya itu. 

Sudah 15 menit lamanya Fanesa pergi ke toilet. Luki mulai merasakan ada yang tidak beres dengan Fanesa. Muncul kecemasan di dadanya. Hingga akhirnya ia berdiri dan memutuskan untuk melihat keadaan Fanesa di Toilet. Ia pun berjalan sedikit terburu-buru. Namun sesampainya ia berdiri di depan pintu, tiba-tiba ia teringat akan fax yang masuk tadi. Ia pun sedikit berbalik dan menghampiri lembaran-lembaran kertas yang masih menempel di mulut mesin fax. Saat ia membuka lembaran-lembaran kertas itu, rupanya itu hanya kertas kosong. Tak ada tulisan apapun. Baru sampai di 2 lembar kertas terakhir, ia menemukan sebuah tulisan merah. 

SEE YOU IN TOILET DEAR...

“arggh..” Luki mengerang. Ia baru tersadar, bahwa sebenarnya memang ada yang tidak beres. FANESA? TOILET? FAX ITU? 

***



Ya semuanya berkecamuk dalam otaknya. Tanpa pikir panjang ia lantas berlari menuju toilet wanita di ujung koridor kantor. Ia kemudian masuk tanpa permisi. 

“Nes…Fanes..kamu dimana Nes?” Luki memanggil-manggil Fanesa dengan sangat panik sambil terus mengetuk semua pintu toilet. Tapi rupanya tidak ada jawaban sama sekali. Ia pun membuka satu persatu pintu. Hingga akhirnya ia berhenti di pintu ke 6. Seperti terdengar suara air yang menetes perlahan. Lembut sekali. Luki terdiam dan mendekatkan telinganya ke arah daun pintu. Pelan sekali gerakannya. Sampai daun telinganya itu tepat menempel di daun pintu tiba-tiba ‘im so lonely broken angel..im so lonely…’ Luki terkejut bukan kepalang. Ternyata handphonenya berdering sangat kencang. Lantas kemudian cepat-cepat mengambil handphone di saku celananya itu. Dan ternyata itu telepon dari Fanesa.

“Halo Nes, kamu dimana?” Luki menjawab telepon dengan terengah-engah.
“Ki..” suara yang sangat pelan terdengar.
“Iya Nes, kamu dimana? Cepet jawab sekarang!!” Luki sedikit membentak. Alisnya meruncing.
“kiii...hhhhhh.” ‘krrsssskkkk…krrsskk…tuuuuttt..ciiyyyttt’ hanya terdengar suara pelan yang memanggil Luki, dengan suara nafas yang berat dan seperti suara telepon dengan sinyal yang buruk.
“Nes, please jawab Nes, kamu dimana?! Please serius buat kali ini!! FANESSS!!!!” emosi Luki memuncak. 
Jantungnya berdetak sangat kencang. Suhu tubuhnya menurun drastis. Dingin.
Luki semakin panik. Ia buru-buru keluar dari toilet perempuan. Matanya terus mencari keberadaan Fanesa. Dan ia baru tersadar satu hal. Perkataan pak Warno, dan ia baru saja melanggarnya. Nada dering ponselnya yang keras itu sudah memecah keheningan kantor itu, apalagi barusan di toilet. 

Luki lantas cepat-cepat berlari menuju ruang kerjanya. Ia mendapati ruang kerjanya itu sudah gelap. Sepertinya ada yang mematikan lampunya. Namun ada satu komputer yang menyala. Tapi itu bukan komputernya. Luki pelan-pelan mencari saklar untuk menyalakan lampu di ruangan itu. Perlahan sambil meraba-raba benda di depannya, dengan bantuan cahaya dari handphonenya yang redup. 

“aaauuuww..” Luki menjerit sakit. Kakinya menabrak sebuah kursi di samping kanannya. Baru kemudian ia kembali berjalan. Tangannya bergetar cukup hebat. Ya, rasa takutnya memang sudah tertabung sejak lama, dan  saat itu puncaknya. Karena ia baru saja melanggar kepercayaannya sendiri akan hal pamali, sehingga membuat hatinya bergetar takut.

Tangannya yang memegang handphone, sambil terus berjalan mencari saklar tiba-tiba gerakan tangannya itu melewati sebuah sisi di samping kirinya. Sekilas terlihat seperti ada seseorang. Ia terkejut. Cepat-cepat melangkah mundur. Jantungnya semakin kencang. Tapi ia ingin sekali memastikan siapa orang di kirinya itu. Pelan-pelan ia mengarahkan cahaya handphonenya ke arah orang yang tadi di lihatnya..pelan..pelan..dan semakin dekat. Dan tepat di sisi yang persis…….ternyata tidak ada siapa-siapa.

‘ceklek’ lampu menyala. Ternyata punggung Luki tidak sengaja menekan saklar yang menempel di dinding belakangnya. Ia perhatikan setiap sudut ruangan untuk memastikan kalau semuanya aman. Dan matanya tertuju pada sebuah komputer temannya di pojok ruangan yang tiba-tiba menyala. Padahal komputer Luki dan Fanesa yang tadi masih menyala saja kini sudah mati. Luki berjalan ke arah komputer yang menyala itu. Tak ada hal aneh. Ia hanya melihat sebuah foto. Sepertinya Luki mengenali lokasi foto itu. Ya, itu foto di kantornya. Foto di ruang meeting. Dan ada satu benda yang aneh di foto itu. Sebuah lilin di tengah meja meeting yang sudah setengah mencair dalam keadaan menyala. Luki keheranan. Dalam hati ia berkata ‘loh, bukannya di ruang meeting tidak boleh membawa benda-benda yang berhubungan dengan benda tajam dan api ya, lagian untuk apa lilin itu. Untuk apa Dea menyimpan foto seperti ini’ Luki kemudian mengabaikan apa yang baru dilihatnya itu. Baru 3 langkah ia berjalan meninggalkan komputer. Rupanya foto lilin di atas meja itu tiba-tiba padam dengan sendirinya, padahal itu adalah sebuah foto yang tidak mungkin dpat berubah seperti itu. Dan Luki tidak melihatnya.

Luki duduk di mejanya. Ia lantas mengambil tas dan ingin cepat-cepat keluar dari ruang kerja dan meninggalkan kantor itu. Namun saat ia hendak keluar, ruapanya pintu ruang kerjanya itu terkunci secara otomatis. Ia melihat dari dalam ruang kerja yang hanya dilapisi kaca itu tak ada satu orang pun di luar ruangan yang dapat ia panggil untuk menolongnya. Akhirnya Luki ingat sesuatu, security. Ya ia tau bahwa di kantor itu ada seorang security yang bertugas untuk jaga malam di bawah. Ia lantas segera berusaha menelponnya.

‘tuuuuuuutttt……tuuuuuuutt’ 

telepon dari Luki itu tak kunjung di angkat oleh security di bawah. Ternyata di bawah sana, security tengah asik mendengar alunan musik dangdut dari radio yang baru saja dibelinya. Luki kecewa. Kemudian ia mencari cara lain agar ia dapat keluar dari ruang kerjanya itu. Ia membuka laci meja kerja Fanesa, berharap menemukan nomor sandi pintu di buku catatan Fanesa.
“arggh..ini dia” sebuah halaman di buku kecil Fanesa terbuka, dan bertuliskan daftar nomor sandi, termasuk nomor sandi pintu ruang kerja. Luki pun cepat cepat memasukkan nomor sandi dengan sangat panik dan terburu-buru. Tangannya seperti kesusahan saat menekan tombol sandi itu, tapi akhirnya pintu itu terbuka.

Tanpa pikir panjang Luki berlari. Tapi dari kejauhan ia mendengar komputer Dea yang baru saja ia lihat tadi, tiba-tiba ada suara musik classic era jaman Belanda. Tapi Luki tidak mau kembali. Kuduknya sudah terlalu merinding. Saat ia mendekati Lift, rupanya Lift sudah tidak beroperasi di jam malam. Ia pun cepat cepat  berlari menuju tangga. Saat ia berlari tiba-tiba Fanesa memanggil dari ujung lorong di belakangnya. 

“Luki..” panggilan yang cukup keras dan menggema
Luki berhenti tiba-tiba. Ia spontan membalikkan pandangannya. “Fanes, kamu dari mana? Ayo kita pulang!” ada sedikit perasaan lega didanya setelah melihat wajah Fanes.
“aku pengen balik ke ruangan kita, ada sesuatu yang tertinggal. Mau antar?” Jawab Fanes lembut.
“oke!” luki tak menolak sedikitpun. Ia berjalan di belakang Fanes. Tak ada perbincangan diantara keduanya. Namun tanpa diduga, Fanes bernyanyi lembut dalam perjalannannya itu menuju ruang kerja. Sebuah lagu barat kanak-kanak, Twinkle twinkle little star. Luki terkejut. Luki yang masih percaya dengan ucapan pa Warno spontan langsung memperingati Fanes untuk Diam.
“ssssttt…Nes, jangan nyanyi. Kamu ingat kan!! Ssstt..”
Fanes tak  menjawab. Tapi ia menghentikan nyanyiannya itu. Mendadak Fanes berhenti di depan pintu ruang meeting. Fanes tegak berdiri menghadap pintu itu, melihat dalamnya dari kaca di sela pintu.
“Bisa kamu ambilkan aku map yang tertinggal di dalam, sementara aku ke ruang kerja kita?” pinta Fanesa tanpa melihat wajah Luki.
“hah? Kenapa harus aku sendiri? Kenapa tidak kita masuk bersama-sama?” tanya Luki sedikit protes.
“bukankan kamu ingin kita cepat-cepat keluar dari kantor ini, iya kan?
“ehmmm, baiklah. Nanti aku menyusul ke ruang kerja kita” Luki menyerah dan setuju.
“tunggu saja di sini, aku akan segera kembali” jawab Fanesa sambil terus berlalu.

Akhirnya Luki masuk ke dalam ruang meeting yang gelap itu. Lagi-lagi ia harus menghadapi kegelapan. Sebenarnya ia benci harus mengambil map yang Fanesa maksud di dalam situ. Pikiran Luki teringat akan sebuah hal. Komputer Dea yang menyala di ruang kerja. Ya, foto itu. Di sini, di tempat gelap yang ia masuki sekarang. Ia cepat-cepat menyalakan saklar lampu di samping kanan pintu. Hingga akhirnya seluruh ruang meeting terlihat jelas di matanya. Lilin itu, ternyata masih ada di atas meja. Masih menyala. Padahal tadi saat lampu mati, tak ada sumber cahaya sama sekali, lalu lilin itu?

Luki cepat-cepat menggapai map biru di pinggir meja. Dan tiba-tiba lampu di ruang itu kembali mati dengan sedirinya. Baru kali itu lilin yang sebelumnya tak nampak di kegelapan kini menyala cukup terang. Sinar jingga itu, menerangi separuh bagian ruangan. 

“apalagi ini?!” Luki bicara sendiri. Ia kemudaian membalikkan badannya untuk segera keluar dari ruang itu. Namun ia terkejut bukan kepalang saat ia mendapati pintu yang sebelumnya ada kini hilang. Ia meraba-raba bagian tembok ruang meeting tapi ternyata pintu itu benar-benar hilang. Dan saat ia berbalik badan melihat lilin dan sebrang meja sana. Ada seseorang di depannya. Seperti sesosok pria yang sedang tertidur di meja meeting. Tangannya tertumpu pada meja, dan wajahnya bersembunyi di pelukan tangan.
“Hey, siapa kamu?!” Luki bertanya sambil menggertak.
Pria di depannya tak menjawab. Pria itu masih tertidur dengan posisi yang sama.
“Hey, ngga usah pura-pura tidur. Kamu mau apa?” Luki kembali menggertak, pura-puramenjadi seorang kesatria pemberani.

Pria misterius itu bergerak. Perlahan-lahan pria itu mengangkat kepalanya, pelan-pelan sekali. Hingga akhirnya terlihat jelas sesosok wajah yang sangat mengerikan.
Luki berteriak sangat keras. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Dan pria misterius itu berkata, “aku mau kamu”
Seketika itu juga Luki yang ketakutan melemparkan barang-barang yang ada di ruang meeting ke arah pria itu. Apapun yang ada di dekatnya. Sampai akhirnya ia lemas dan tangannya menyentuh dinding di belakangnya.
“hah, pintu..” ya, ia kambali menemukan pintu yang barusan hilang. Cepat-cepat ia lari dari ruangan itu, dan pergi manuju ruang kerja untuk menjemput Fanesa.
Di tengah perjalanan ia berlari, Luki mendengar Fanesa memanggilnya.
“Luki, sini!” panggil Fanesa dari ujung tangga menuju lantai bawah.
“hah, Nes.” Tanpa basa-basi Luki lantas berlari sambil menggenggam tangan Fanesa yang ikut berlari di belakangnya. Nafas Luki sangat keras terdengar. Dan sebuah pisau terjatuh dari lantai atas, hampir saja mengenai kepala Luki.
“aarrggh..sial” Luki terkaget melihat pisau itu. Kepalanya mencari-cari darimana pisau itu berasal. Fanesa tak berkomentar apa-apa. Ia hanya diam. “woy, siapa sih? Jangan ganggu kita!’ bentak Luki dan kembali berlari.  

Fanesa kembali bernyanyi lagu twinkle-twinkle little star. Luki sekali menggerutu. Tapi Fanesa tak menghiraukan gertakan temannya itu. Fanesa malah bernyanyi semakin keras. Membuat Luki kesal dan marah. “Nes, kamu tuh sengaja banget ya nyanyi-nyanyi gitu. Mau kamu apa?”
Fanesa memandangi wajah Luki yang marah. Jarinya didekatkan pada wajah Luki. Telunjuknya bergerak dari atas kening Luki, bergerak turun perlahan, ke mata, hidung, bibir, dagu, hingga telapak tangan Fanesa seutuhnya menempel di pipi kanan Luki. Dan ia berkata “aku mau kamu”.
“Halo Nes..hey” Luki seperti heran dan tidak percaya. Ia mencoba menyadarkan Fanesa takutnya Fanesa sedang tertidur sambil berdiri. Tapi apa yang Luki lihat di belakang Fanesa, sesosok pria yang ia lihat di ruang meeting sebelumnya. Berdiri menghampiri dengan sebilah celurit di tangannya.
“awas nesss!!!” Luki memperingati Fanesa sambil memeluknya. Luki yang terkejut akhirnya menarik Fanesa pergi dan segera berlari. Di tangga itu, berkali-kali pria misterius itu mencoba mengayunkan celurit di tangannya. Tapi Luki selalu berhasil menyelamatkan diri dan menjaga Fanesa. Sampai akhirnya ia tiba di lantai satu kantor itu. Ia sempat bingung dimana pintu keluar gedung utama. Saking paniknya ia mendadak lupa. Dan tangan Fanesa dibiarkan terlepas. Luki berlari kesana kemari mencari pintu untuk keluar. Sampai akhirnya ia keluar dan menabrak seorang security yang tengah sedang berjalan membawa secangkir kopi.
“MasyaAlloh pa, kopi saya eeehhh kopi saya” seru seorang security.
“aduh maaf pa, maaf. Saya tadi…itu tadiii…” Luki bicara dengan sangat terbata-bata.
“eh..eh..eh…santai dulu pak. Cerita pelan-pelan” bujuk security menenangkan.
“aahhh, panjang ceritanya. Eh..bentar-bentar. Temen saya mana ya pa? tadi perasaan bareng sama saya. Aduh jangan-jangan ketinggalan di dalem lagi” Luki menepuk keningnya menyesali kalau Fanesa tidak ada disampingnya.
“ Mba Fanesa ya pa, hoalah..mba Nesa udah pulang kali pa, dari 2 jam yang lalu. Tadi dia bilang, titip Pa Luki gitu katanya. Hahaha, tumben banget mba Nesa bilang gitu. Terus dia pergi, ngga tau deh naik apa sudah malam begini.
“hah, ngga usah bercanda deh pa!” Luki tidak yakin dengan ucapan security.
“yaelah pa.. untuk apa juga saya bohong. Yasudah pa, selamat istirahat, hati-hati pulangnya. Udah malem ngga usah ngebut-ngebut. Wasalamualaikum saya balik ke pos dulu pa” bapak security meninggalkan Luki yang masih berdiri tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi dengannya barusan. Mesin fax, toilet, fanesa, komputer Dea, foto ruang meeting, lilin, pria misterius yang mencoba membunuhnya, ya semuanya di luar nalarnya. Antara percaya dan tak percaya. Anatara nyata dan tidak. Antara dunia manusia, dan dunia lain.

***

nyang lain niihh..