Ini bukan
pertama kali. Entah sudah berapa episode Aku merasa menjadi orang paling
penakut di muka bumi. Bahkan di saat aku sedang bersama orang-orang terdekatku.
Sekalipun itu dalam keramaian. Mereka..wajah-wajah itu, entah mengapa selalu
tak sengaja kulihat. Berlari, berdiri, terduduk, terdiam, mereka mengoyak
ketenanganku. Hebat? Tidak. Sama sekali tidak. Aku ingin menjadi biasa. Apapun
yang terjadi padaku. Bertahan untuk tetap seperti ini dan mulai menganggap
biasa. Atau bahkan tidak sama sekali.
Malam
yang panjang. Selesai sudah aku mengikuti kegiatan himpunan yang menyita hampir
separuh energi dan pikiranku. Tubuhku rasanya ingin segera menjatuhkan diri di
atas ranjang merah muda di kamar kosan. Tapi aku masih saja terus bercengkrama
dengan beberapa teman ku yang sepertinya sama lelahnya dengan ku di koridor Tak ada yang aneh. Semuanya tampak biasa.
Beberapa
dari kami mulai membuka obrolan tentang senior-senior yang galak dan
mengerikan. Hari itu memang
senior-senior ku yang berlaku sebagai tim Sadis benar-benar terlihat seperti
algojo yang diutus untuk menyiksa dan
menguji mental seluruh mahasiswa angkatan ku. Dan tentunya aku pun tak luput
dari kemarahan dan makian para senior. Walau akhirnya, semua kondisinya menjadi
baik-baik saja.
Sudah
semakin malam. Anjng-anjing kampung di kampus sudang terdengar semakin bersuara
liar. Bahkan ku lihat di sekitar tempat kami berkumpul sudah semakin sunyi. Tak
ada keramaian yang tampak seperti sebelumnya. Aku dan teman-temanku memutuskan
untuk segera pulang dan beristirahat. Kemudian kami pun bersama-sama berjalan
menuju tempat parkir di dekat gedung merah. Sepanjang kami berjalan, hanya lampu-lampu
temaram dan cahaya bulan yang menaungi langkah aku dan 7 temanku.
Dan sampailah
aku di depan sebuah gedung yang mereka sebut itu Ikasi. 2 orang temanku
memutuskan untuk kembali ke lokasi tempat kegiatan kami barusan, sedangkan aku
dan 5 orang lainnya terus berjalan menuju parkiran. Tapi..sebentar. Aku melihat
seseorang berjalan 3 meter di samping kiri kami dalam kegelapan. Aku mencoba
memicingkan mataku untuk melihat wajah itu lebih jelas. Tapi tetap saja gelap dan tak
terlihat jelas. Kaki itu..ya kaki itu terlihat semakin tinggi. Dan aku segera
menggenggam tangan teman di sampingku. Ku genggam erat-erat, sangat erat.
“Mey,
kau baik-baik saja” tanya Dita, temanku.
“hemh..”
aku menganggukan kepala.
Aku
terus bicara dalam hati, memaki diriku sendiri. ‘hey, berhenti berimajinasi. Berhenti
melihat apa yang seharusnya tak kau lihat. Tutup matamu!!!’. Tapi aku terus
saja melihat ke arah itu. Sosok itu, tak berhenti mengikuti kami berjalan. Tapi
tubuh hitam itu, semakin menjulang tinggi. Aku ingin berteriak
sekencang-kencangnya. Ingin bicara dan menunjukkan pada teman-temanku atas apa
yang sedang kulihat ini. Tapi mulutku, terkunci rapat-rapat. Langkahku berat. Lututku
rasanya hampir telepas dari tempurungnya. Aku berdoa dalam hati. Membaca ayat
suci yang ku ingat saat itu. Berharap aku bisa menaklukkan ketakutanku sendiri.
Dan akhirnya…selesai. Sosok itu tak kulihat lagi.
Nafasku
hampir habis karena kejadian itu. Tenaga ku melemah separuh dari sebelumnya.
Tapi aku harus kembali fokus. Karena perjalananku belum selesai. Aku harus
pulang membawa motor sendirian malam itu. Sendirian.
“Mey,
kamu yakin tak ingin menginap di kosan ku?” tanya Feli.
“hemh,
tidak Fel. Biar aku pulang saja. Lagi pula aku tidak membawa pakaian ganti”
jawabku.
“yasudahlah
kalau begitu. Hati-hati di jalan. Kabari aku jika sudah tiba di rumah”
“yap,
thanks Fel. Oke semuanya..aku pulang duluan ya” aku berpamitan untuk pulang
lebih dulu dari mereka.
Perjalanan
pulang ke rumah pun di mulai. Entah sudah jam berapa saat itu. Tapi yang jelas,
aku tidak melihat kendaraan lain ramai berlalu lalang di sekitar ku. Hanya beberapa
titik lampu dari kejauhan yang kulihat samar-samar. Dan tiba-tiba aku teringat
pada pesan salah seorang teman ku.
“jika
suatu malam kamu berkendara sepeda motor sendirian saja melewati jalan depan
kampus, maka jangan sekali-sekali kamu melihat kaca spion untuk melihat
kebelakang”. Hemhh..entah karena apa teman ku bicara seperti itu. Tapi kalimat
itu membuat nyaliku menciut seketika saat itu. Ingin sekali aku tancap gas dan
segera meninggalkan jalan itu dengan kecepatan tinggi. Tapi aku tidak sanggup. Ketakutanku
membuatku menjadi lemah dan lelet. Tanganku bergetar hebat. Belum selesai dada
ku dibuat berdegup karena kejadian di depan Ikasi, dan sekarang aku harus di
hadapkan dengan ketakutan lain di luar kampus.
Mataku mulai
menjadi sompral. Rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku. Sekitar 7 meter
dari pintu klinik kampus, aku menjatuhkan pandanganku ke arah kaca spion. Waktu
rasanya seperti terhenti beberapa saat. Telingaku seperti tak mendengar suara
apapun. Nafasku melambat. Aku terdiam melihat kaca spion motor ku. ……………..disana…..di
kaca spion motorku…………tak ada hal yang aneh. Semuanya biasa saja. Hanya ada
pohon dan kegelapan. Aku pun kembali bernafas lega.
Tapi apa
yang kulihat di depan gerbang belakang kampus 10 meter dari arahku. Sosok pria
tua berambut putih lusuh dengan sebuah karung di tangannya. Wajahnya hanya
menunduk ke tanah. Tak ada suara. Hanya kebisuan. Ku coba untuk memalingkan
pandangan dan berharap saat aku kembali melihat sosok itu sudah pergi. Tapi rupanya
tidak. Tangan itu..melambai-lambai. Seolah ingin meminta tumpangan ke arahku. Tak
ada pikiran kasian dan ingin berhenti saat itu. Dada ku hampir tak kuat menahan
jantungku yang terus berdegup hebat. ‘tolong, bangunkan aku dari mimpi buruk
ini. Ini mimpikan? Cukup..aku menyerah’. Rasanya ingin sekali aku berteriak
kencang saat itu. Tapi kurasa hanya akan menjadi sia-sia. Karena tak ada
seorang pun yang melintas di jalan tersebut. Dan mulutku tak berhenti
berdzikir. Pikiranku kacau. Berkecamuk berbagai hal-hal mengerikan yang pernah
ku lihat sebelumnya. Aku sangat ketakutan. Sampai akhirnya aku berhasil menjauh
dari tempat mengerikan itu dan kembali menuntaskan perjalanan pulangku malam
itu.
Keesokan
harinya, tak banyak kalimat yang keluar dari mulutku. Rasanya malas sekali aku
bicara dengan orang-orang di sekelilingku. Kejadian semalam membuatku merasa
menjadi orang paling menyedihkan dan penakut saat itu. Aku menjadi takut untuk
berlama-lama diam di tempat sepi. Bahkan di rumah pun di siang hari aku menjadi
sangat sensitif terhadap cermin dan suara-suara kecil di sekelilingku. Aku tidak
pernah berharap dapat melihat sosok aneh itu sejak dulu. Tak pernah sedikitpun
aku berangan untuk terus melihat mereka. Aku ingin menjadi biasa, seperti
teman-temanku yang biasa dan hidup normal. Tapi kenyataannya aku ya tetap aku. Dan…mereka..akan
kembali kulihat.
*********
true story kah ??
BalasHapushemmh..
BalasHapusright.. :)