Ini hari ke 83 Luki bekerja di kantor itu. Ia masih bingung dengan apa yang teman-temannya bicarakan. Kepergian Fanesa, sahabat barunya, terlalu mendadak dan tidak jelas kemana. Teman sebelah mejanya berkata, Fanesa mungkin sudah kembali ke rumah ibunya di Vietnam. Tapi sebagian yang lain berkata… Fanesa selalu duduk di mejanya, padahal dia tidak lagi di kantor itu atau mungkin ia sudah pergi di telan bumi.
***
“ah,
kenapa lagi ini?!” Luki mengeluh keras
“kenapa
lagi ki? Programnya eror lagi? Kok gitu terus ya, mungkin harus di upgrade
lagi” Fanesa bicara sambil terus menatap kerjaannya di layar komputer.
“tau
nih, stres. Aku udah 75% ngegambar, dan hari ini harus approve, dan
ternyata…error lagi. Sial!!”
“hemmh,
sabar”
“aargh,
kyaknya besok aku bakal komplen sama pa Joy, cape banget kalo tiap hari kayak
gini terus” Luki tampak stres, rambutnya di koyak-koyak sampai sedikit
berantakan.
Hari
itu Luki sudah mengeluh yang ke tiga kalinya. Setelah sebelumnya ia mendapat
teguran dari Project Manager dengan keterlambatan gambar yang ia buat. Fanessa
hanya tersenyum tiap kali mendengar Luki mengeluh dan komat-kamit sendiri. Dan
teman-teman kerja yang lain tidak mempedulikan apa yang terjadi pada Luki.
Adzan
maghrib terdengar samar-samar dari mesjid yang jaraknya cukup jauh dari lokasi
kantor itu. Pak Warno pernah berkata, “Ojo sekali-sekali koe nyetel musik ne’ wes krungu adzan maghrib,
percoyo karo aku! (jangan sekali-sekali kamu memainkan musik jika sudah
terdengar adzan maghrib, percaya sama saya!) “. Luki pun masih sangat ingat
dengan ucapan pak Warno. Ia bahkan memperingati Fanesa untuk mematikan ipod nya
yang sejak siang headsetnya terus menempel di telinganya. Sebenarnya Fanesa
sedikit kesal dengan sikap Luki yang setiap hari terus memperingati dia untuk
berhenti mendengarkan musik. Tapi ia pura-pura setuju karena ia tau, Luki
adalah satu-satunya teman kantor yang mau menjadi sahabatnya.
Entah
apa maksud dari ucapan pak Warno itu. Ia hanya bilang “Pamali”. Dan kebetulan
sekali Luki yang merupakan keturunan jawa, mempercayai segala hal yang berbau
pamali atau sakral lainnya. Kantor itu memang sudah banyak dibicarakan orang.
Lokasinya yang berada di pinggiran jalan tol, dan dibelakangnya terdapat lahan
kosong berumput yang cukup luas, terbilang cukup sepi untuk ukuran sebuah kantor
besar. Sudah 73 hari Luki bekerja di tempat itu. Dan ia sudah tau, ada sesuatu
yang selalu membuatnya berbalik tiba-tiba. Sesuatu yang enggan ia sebut saat
berada di kantor selepas adzan maghrib. Dan ia bahkan, selalu pura-pura bahwa
semuanya baik-baik saja.
Akibat
program komputernya yang error, akhirnya Luki terpaksa harus mengulang semua
pekerjaannya malam itu. Fanesa yang merasa kasihan melihat sahabatnya stres,
akhirnya memutuskan untuk ikut lembur bersama Luki.
“thanks
ya Nes, kamu mau nemenin aku”
“iya
ngga papa, lagian kemaren-kemaren juga kamu yang suka nemenin aku lembur kan”
Luki
tersenyum melihat Fanesa yang lebih dulu tersenyum bicara dengannya. Malam itu
mereka hanya berempat saja di kantor besar itu, mereka, seorang security yang berjaga
di bawah, dan seorang office boy yang jarang sekali nampak di ruang kerja.
Sepi,
hanya itu yang tergambarkan. Tak ada musik, karena Luki masih mempercayai kata
Pamali. Fanesa hanya asik sendiri dengan games angry bird di komputernya. Dan
Luki, sibuk dengan pekerjaannya. Seperti tak ada suara selain suara mouse,
keyboard dan suara nafas mereka.Tapi kemudian, terdengar suara telepon kantor
berdering memecah keheningan kantor itu.
‘KRIIIIIING….KRIIIIIIIING…’
“duh,
sapa sih ni, udah malem juga masih aja nelpon kantor” gerutu Luki sambil
beranjak dari kursinya untuk menghampiri telepon yang terus berteriak di
tempatnya.
“udah,
angkat aja sana!” seru Fanesa
Kemudaian
Luki mengaangkat telepon itu “halloo..selamat malam”
‘tuuuuuttt….ciittt’
Tak
ada jawaban, hanya suara mesin yang terdengar.
“halo..halo..halo…”
luki berkali-kali mengucapkan halo, tapi tak di jawab.
“siapa
ki?”
“ngga
tau, ngga ada jawaban. Cuman ada suara tuuuuuttt terus ciiiiyyyytt”
“ooh,
itu fax ki. Kamu tutup teleponnya sekarang, terus teken tombol biru yang deket
tanda bintang!”
“ooohhh,
iya iya. Siip” kemudian Luki mencoba petunjuk yang di berukan Fanesa. “ hemmh,
aku pikir telepon misterius, haha” Luki tertawa.
“ah
kamu ni, ada-ada aja” Fanesa balas tertawa.
Kemudian
Luki membiarkan mesin Fax beroperasi sendiri. Ia segera kembali duduk di
mejanya dan melanjutkan pekerjaannya. Entah berapa lembar kertas yang keluar
dari mesin fax. Luki dan Fanesa bahkan tak peduli dengan kertas-kertas itu.
Mereka hanya fokus dengan layar komputernya masing-masing.
2jam
berlalu mereka masih menjadi penghuni terakhir kantor itu. Sudah jam 23.45.
Biasanya Fanesa sudah berada jauh di alam mimpi, di kamar kosannya. Tapi tidak
dengan malam itu. Ia memang sudah sangat mengantuk sekali. Matanya merah dan
sayu. Entah sudah berapa kali ia menutup mulutnya karena ia terus-terusan
menguap.
“Ki,
pengen pipis. Anterin yu..!” pinta Fanesa.
“Duh,
tanggung nes, bentar lagi ya”
“emmhh..udah
ngga kuat. Ayo lah..” Fanesa terus membujuk sambil memegang perutnya sambil
menahan ingin buang air kecil.
“aduhh..seriusan,
ini tanggung banget. Ntar keburu lupa lagi yang mau di gambarnya” Luki
beralasan lagi.
“iihhh,
Luki. Yaudah deh sendiri aja.hehe” Fanesa tersenyum kuda.
“yakin
nih Nes, ga mau nunggu aku bentaran?” tanya Luki sambil membalikkan badannya
melihat Fanesa yang berlari kecil menuju Toilet.
“Iyap..its
oke maplen” jawab Fanesa terburu-buru sambil mengangkat jari jempolnya.
Akhirnya
Luki membiarkan fanesa pergi sendirian ke toilet. Sebenarnya, Luki tidak ingin
di biarkan sendiri saja di ruang kantor itu. Ya, sebelum-sebelumnya dia memang
sudah beberapa kali merasakan hal-hal yang tidak wajar di kantor itu. Tapi ia
selalu memegang pesan mendiang eyangnya untuk tidak pernah menceritakan segala
hal yang tabu dan di luar nalar di tempat kejadian dari cerita itu. Hingga
malam itu pun, ia masih terus menutup mulut.
‘brak’
suara buku terjatuh di meja Aldo. Mata Luki tajam-tajam mencari sumber suara
itu. Ia hanya berdiri dan melihat dari tempatnya saja. Jantungnya masih biasa
saja. Setelah melihat buku yang tergeletak di bawah depan meja Aldo, ia
kemudian kembali duduk dan mengerjakan pekerjaannya itu.
Sudah
15 menit lamanya Fanesa pergi ke toilet. Luki mulai merasakan ada yang tidak
beres dengan Fanesa. Muncul kecemasan di dadanya. Hingga akhirnya ia berdiri
dan memutuskan untuk melihat keadaan Fanesa di Toilet. Ia pun berjalan sedikit
terburu-buru. Namun sesampainya ia berdiri di depan pintu, tiba-tiba ia
teringat akan fax yang masuk tadi. Ia pun sedikit berbalik dan menghampiri
lembaran-lembaran kertas yang masih menempel di mulut mesin fax. Saat ia
membuka lembaran-lembaran kertas itu, rupanya itu hanya kertas kosong. Tak ada
tulisan apapun. Baru sampai di 2 lembar kertas terakhir, ia menemukan sebuah
tulisan merah.
SEE YOU IN TOILET DEAR...
“arggh..”
Luki mengerang. Ia baru tersadar, bahwa sebenarnya memang ada yang tidak beres.
FANESA? TOILET? FAX ITU?
***
***
Ya
semuanya berkecamuk dalam otaknya. Tanpa pikir panjang ia lantas berlari menuju
toilet wanita di ujung koridor kantor. Ia kemudian masuk tanpa permisi.
“Nes…Fanes..kamu
dimana Nes?” Luki memanggil-manggil Fanesa dengan sangat panik sambil terus
mengetuk semua pintu toilet. Tapi rupanya tidak ada jawaban sama sekali. Ia pun
membuka satu persatu pintu. Hingga akhirnya ia berhenti di pintu ke 6. Seperti
terdengar suara air yang menetes perlahan. Lembut sekali. Luki terdiam dan
mendekatkan telinganya ke arah daun pintu. Pelan sekali gerakannya. Sampai daun
telinganya itu tepat menempel di daun pintu tiba-tiba ‘im so lonely broken
angel..im so lonely…’ Luki terkejut bukan kepalang. Ternyata handphonenya
berdering sangat kencang. Lantas kemudian cepat-cepat mengambil handphone di
saku celananya itu. Dan ternyata itu telepon dari Fanesa.
“Halo
Nes, kamu dimana?” Luki menjawab telepon dengan terengah-engah.
“Ki..”
suara yang sangat pelan terdengar.
“Iya
Nes, kamu dimana? Cepet jawab sekarang!!” Luki sedikit membentak. Alisnya
meruncing.
“kiii...hhhhhh.”
‘krrsssskkkk…krrsskk…tuuuuttt..ciiyyyttt’ hanya terdengar suara pelan yang
memanggil Luki, dengan suara nafas yang berat dan seperti suara telepon dengan
sinyal yang buruk.
“Nes,
please jawab Nes, kamu dimana?! Please serius buat kali ini!! FANESSS!!!!”
emosi Luki memuncak.
Jantungnya berdetak sangat kencang. Suhu tubuhnya menurun
drastis. Dingin.
Luki
semakin panik. Ia buru-buru keluar dari toilet perempuan. Matanya terus mencari
keberadaan Fanesa. Dan ia baru tersadar satu hal. Perkataan pak Warno, dan ia
baru saja melanggarnya. Nada dering ponselnya yang keras itu sudah memecah
keheningan kantor itu, apalagi barusan di toilet.
Luki
lantas cepat-cepat berlari menuju ruang kerjanya. Ia mendapati ruang kerjanya
itu sudah gelap. Sepertinya ada yang mematikan lampunya. Namun ada satu
komputer yang menyala. Tapi itu bukan komputernya. Luki pelan-pelan mencari
saklar untuk menyalakan lampu di ruangan itu. Perlahan sambil meraba-raba benda
di depannya, dengan bantuan cahaya dari handphonenya yang redup.
“aaauuuww..”
Luki menjerit sakit. Kakinya menabrak sebuah kursi di samping kanannya. Baru
kemudian ia kembali berjalan. Tangannya bergetar cukup hebat. Ya, rasa takutnya
memang sudah tertabung sejak lama, dan
saat itu puncaknya. Karena ia baru saja melanggar kepercayaannya sendiri
akan hal pamali, sehingga membuat hatinya bergetar takut.
Tangannya
yang memegang handphone, sambil terus berjalan mencari saklar tiba-tiba gerakan
tangannya itu melewati sebuah sisi di samping kirinya. Sekilas terlihat seperti
ada seseorang. Ia terkejut. Cepat-cepat melangkah mundur. Jantungnya semakin
kencang. Tapi ia ingin sekali memastikan siapa orang di kirinya itu.
Pelan-pelan ia mengarahkan cahaya handphonenya ke arah orang yang tadi di
lihatnya..pelan..pelan..dan semakin dekat. Dan tepat di sisi yang
persis…….ternyata tidak ada siapa-siapa.
‘ceklek’
lampu menyala. Ternyata punggung Luki tidak sengaja menekan saklar yang
menempel di dinding belakangnya. Ia perhatikan setiap sudut ruangan untuk
memastikan kalau semuanya aman. Dan matanya tertuju pada sebuah komputer
temannya di pojok ruangan yang tiba-tiba menyala. Padahal komputer Luki dan
Fanesa yang tadi masih menyala saja kini sudah mati. Luki berjalan ke arah
komputer yang menyala itu. Tak ada hal aneh. Ia hanya melihat sebuah foto.
Sepertinya Luki mengenali lokasi foto itu. Ya, itu foto di kantornya. Foto di
ruang meeting. Dan ada satu benda yang aneh di foto itu. Sebuah lilin di tengah
meja meeting yang sudah setengah mencair dalam keadaan menyala. Luki keheranan.
Dalam hati ia berkata ‘loh, bukannya di ruang meeting tidak boleh membawa
benda-benda yang berhubungan dengan benda tajam dan api ya, lagian untuk apa
lilin itu. Untuk apa Dea menyimpan foto seperti ini’ Luki kemudian mengabaikan
apa yang baru dilihatnya itu. Baru 3 langkah ia berjalan meninggalkan komputer.
Rupanya foto lilin di atas meja itu tiba-tiba padam dengan sendirinya, padahal
itu adalah sebuah foto yang tidak mungkin dpat berubah seperti itu. Dan Luki
tidak melihatnya.
Luki
duduk di mejanya. Ia lantas mengambil tas dan ingin cepat-cepat keluar dari
ruang kerja dan meninggalkan kantor itu. Namun saat ia hendak keluar, ruapanya
pintu ruang kerjanya itu terkunci secara otomatis. Ia melihat dari dalam ruang
kerja yang hanya dilapisi kaca itu tak ada satu orang pun di luar ruangan yang
dapat ia panggil untuk menolongnya. Akhirnya Luki ingat sesuatu, security. Ya
ia tau bahwa di kantor itu ada seorang security yang bertugas untuk jaga malam
di bawah. Ia lantas segera berusaha menelponnya.
‘tuuuuuuutttt……tuuuuuuutt’
telepon dari Luki itu tak kunjung di angkat oleh security di bawah. Ternyata di
bawah sana, security tengah asik mendengar alunan musik dangdut dari radio yang
baru saja dibelinya. Luki kecewa. Kemudian ia mencari cara lain agar ia dapat
keluar dari ruang kerjanya itu. Ia membuka laci meja kerja Fanesa, berharap
menemukan nomor sandi pintu di buku catatan Fanesa.
“arggh..ini
dia” sebuah halaman di buku kecil Fanesa terbuka, dan bertuliskan daftar nomor
sandi, termasuk nomor sandi pintu ruang kerja. Luki pun cepat cepat memasukkan
nomor sandi dengan sangat panik dan terburu-buru. Tangannya seperti kesusahan
saat menekan tombol sandi itu, tapi akhirnya pintu itu terbuka.
Tanpa
pikir panjang Luki berlari. Tapi dari kejauhan ia mendengar komputer Dea yang
baru saja ia lihat tadi, tiba-tiba ada suara musik classic era jaman Belanda.
Tapi Luki tidak mau kembali. Kuduknya sudah terlalu merinding. Saat ia
mendekati Lift, rupanya Lift sudah tidak beroperasi di jam malam. Ia pun cepat
cepat berlari menuju tangga. Saat ia
berlari tiba-tiba Fanesa memanggil dari ujung lorong di belakangnya.
“Luki..”
panggilan yang cukup keras dan menggema
Luki
berhenti tiba-tiba. Ia spontan membalikkan pandangannya. “Fanes, kamu dari
mana? Ayo kita pulang!” ada sedikit perasaan lega didanya setelah melihat wajah
Fanes.
“aku
pengen balik ke ruangan kita, ada sesuatu yang tertinggal. Mau antar?” Jawab
Fanes lembut.
“oke!”
luki tak menolak sedikitpun. Ia berjalan di belakang Fanes. Tak ada
perbincangan diantara keduanya. Namun tanpa diduga, Fanes bernyanyi lembut
dalam perjalannannya itu menuju ruang kerja. Sebuah lagu barat kanak-kanak,
Twinkle twinkle little star. Luki terkejut. Luki yang masih percaya dengan
ucapan pa Warno spontan langsung memperingati Fanes untuk Diam.
“ssssttt…Nes,
jangan nyanyi. Kamu ingat kan!! Ssstt..”
Fanes
tak menjawab. Tapi ia menghentikan
nyanyiannya itu. Mendadak Fanes berhenti di depan pintu ruang meeting. Fanes
tegak berdiri menghadap pintu itu, melihat dalamnya dari kaca di sela pintu.
“Bisa
kamu ambilkan aku map yang tertinggal di dalam, sementara aku ke ruang kerja
kita?” pinta Fanesa tanpa melihat wajah Luki.
“hah?
Kenapa harus aku sendiri? Kenapa tidak kita masuk bersama-sama?” tanya Luki
sedikit protes.
“bukankan
kamu ingin kita cepat-cepat keluar dari kantor ini, iya kan?
“ehmmm,
baiklah. Nanti aku menyusul ke ruang kerja kita” Luki menyerah dan setuju.
“tunggu
saja di sini, aku akan segera kembali” jawab Fanesa sambil terus berlalu.
Akhirnya
Luki masuk ke dalam ruang meeting yang gelap itu. Lagi-lagi ia harus menghadapi
kegelapan. Sebenarnya ia benci harus mengambil map yang Fanesa maksud di dalam
situ. Pikiran Luki teringat akan sebuah hal. Komputer Dea yang menyala di ruang
kerja. Ya, foto itu. Di sini, di tempat gelap yang ia masuki sekarang. Ia
cepat-cepat menyalakan saklar lampu di samping kanan pintu. Hingga akhirnya
seluruh ruang meeting terlihat jelas di matanya. Lilin itu, ternyata masih ada
di atas meja. Masih menyala. Padahal tadi saat lampu mati, tak ada sumber
cahaya sama sekali, lalu lilin itu?
Luki
cepat-cepat menggapai map biru di pinggir meja. Dan tiba-tiba lampu di ruang
itu kembali mati dengan sedirinya. Baru kali itu lilin yang sebelumnya tak
nampak di kegelapan kini menyala cukup terang. Sinar jingga itu, menerangi
separuh bagian ruangan.
“apalagi
ini?!” Luki bicara sendiri. Ia kemudaian membalikkan badannya untuk segera
keluar dari ruang itu. Namun ia terkejut bukan kepalang saat ia mendapati pintu
yang sebelumnya ada kini hilang. Ia meraba-raba bagian tembok ruang meeting
tapi ternyata pintu itu benar-benar hilang. Dan saat ia berbalik badan melihat
lilin dan sebrang meja sana. Ada seseorang di depannya. Seperti sesosok pria
yang sedang tertidur di meja meeting. Tangannya tertumpu pada meja, dan
wajahnya bersembunyi di pelukan tangan.
“Hey,
siapa kamu?!” Luki bertanya sambil menggertak.
Pria
di depannya tak menjawab. Pria itu masih tertidur dengan posisi yang sama.
“Hey,
ngga usah pura-pura tidur. Kamu mau apa?” Luki kembali menggertak, pura-puramenjadi
seorang kesatria pemberani.
Pria
misterius itu bergerak. Perlahan-lahan pria itu mengangkat kepalanya,
pelan-pelan sekali. Hingga akhirnya terlihat jelas sesosok wajah yang sangat mengerikan.
Luki
berteriak sangat keras. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Dan pria misterius
itu berkata, “aku mau kamu”
Seketika
itu juga Luki yang ketakutan melemparkan barang-barang yang ada di ruang
meeting ke arah pria itu. Apapun yang ada di dekatnya. Sampai akhirnya ia lemas
dan tangannya menyentuh dinding di belakangnya.
“hah,
pintu..” ya, ia kambali menemukan pintu yang barusan hilang. Cepat-cepat ia
lari dari ruangan itu, dan pergi manuju ruang kerja untuk menjemput Fanesa.
Di
tengah perjalanan ia berlari, Luki mendengar Fanesa memanggilnya.
“Luki,
sini!” panggil Fanesa dari ujung tangga menuju lantai bawah.
“hah,
Nes.” Tanpa basa-basi Luki lantas berlari sambil menggenggam tangan Fanesa yang
ikut berlari di belakangnya. Nafas Luki sangat keras terdengar. Dan sebuah
pisau terjatuh dari lantai atas, hampir saja mengenai kepala Luki.
“aarrggh..sial”
Luki terkaget melihat pisau itu. Kepalanya mencari-cari darimana pisau itu
berasal. Fanesa tak berkomentar apa-apa. Ia hanya diam. “woy, siapa sih? Jangan
ganggu kita!’ bentak Luki dan kembali berlari.
Fanesa
kembali bernyanyi lagu twinkle-twinkle little star. Luki sekali menggerutu.
Tapi Fanesa tak menghiraukan gertakan temannya itu. Fanesa malah bernyanyi
semakin keras. Membuat Luki kesal dan marah. “Nes, kamu tuh sengaja banget ya
nyanyi-nyanyi gitu. Mau kamu apa?”
Fanesa
memandangi wajah Luki yang marah. Jarinya didekatkan pada wajah Luki. Telunjuknya
bergerak dari atas kening Luki, bergerak turun perlahan, ke mata, hidung,
bibir, dagu, hingga telapak tangan Fanesa seutuhnya menempel di pipi kanan
Luki. Dan ia berkata “aku mau kamu”.
“Halo
Nes..hey” Luki seperti heran dan tidak percaya. Ia mencoba menyadarkan Fanesa
takutnya Fanesa sedang tertidur sambil berdiri. Tapi apa yang Luki lihat di
belakang Fanesa, sesosok pria yang ia lihat di ruang meeting sebelumnya.
Berdiri menghampiri dengan sebilah celurit di tangannya.
“awas
nesss!!!” Luki memperingati Fanesa sambil memeluknya. Luki yang terkejut
akhirnya menarik Fanesa pergi dan segera berlari. Di tangga itu, berkali-kali
pria misterius itu mencoba mengayunkan celurit di tangannya. Tapi Luki selalu
berhasil menyelamatkan diri dan menjaga Fanesa. Sampai akhirnya ia tiba di
lantai satu kantor itu. Ia sempat bingung dimana pintu keluar gedung utama.
Saking paniknya ia mendadak lupa. Dan tangan Fanesa dibiarkan terlepas. Luki
berlari kesana kemari mencari pintu untuk keluar. Sampai akhirnya ia keluar dan
menabrak seorang security yang tengah sedang berjalan membawa secangkir kopi.
“MasyaAlloh
pa, kopi saya eeehhh kopi saya” seru seorang security.
“aduh
maaf pa, maaf. Saya tadi…itu tadiii…” Luki bicara dengan sangat terbata-bata.
“eh..eh..eh…santai
dulu pak. Cerita pelan-pelan” bujuk security menenangkan.
“aahhh,
panjang ceritanya. Eh..bentar-bentar. Temen saya mana ya pa? tadi perasaan
bareng sama saya. Aduh jangan-jangan ketinggalan di dalem lagi” Luki menepuk
keningnya menyesali kalau Fanesa tidak ada disampingnya.
“
Mba Fanesa ya pa, hoalah..mba Nesa udah pulang kali pa, dari 2 jam yang lalu.
Tadi dia bilang, titip Pa Luki gitu katanya. Hahaha, tumben banget mba Nesa bilang
gitu. Terus dia pergi, ngga tau deh naik apa sudah malam begini.
“hah,
ngga usah bercanda deh pa!” Luki tidak yakin dengan ucapan security.
“yaelah
pa.. untuk apa juga saya bohong. Yasudah pa, selamat istirahat, hati-hati
pulangnya. Udah malem ngga usah ngebut-ngebut. Wasalamualaikum saya balik ke
pos dulu pa” bapak security meninggalkan Luki yang masih berdiri tidak percaya
dengan apa yang baru saja terjadi dengannya barusan. Mesin fax, toilet, fanesa,
komputer Dea, foto ruang meeting, lilin, pria misterius yang mencoba
membunuhnya, ya semuanya di luar nalarnya. Antara percaya dan tak percaya.
Anatara nyata dan tidak. Antara dunia manusia, dan dunia lain.
***
Ini
sudah hari ke 83 Luki bekerja di kantor itu. Dan sampai saat itu Fanesa sudah
tidak pernah muncul di kantornya. Ya, sejak malam yang mengerikan itu. Tidak
ada yang tau kemana Fanesa pergi. Handphone Fanesa tidak pernah aktif. Ibu
kostnya bilang, Fanesa memang sudah 10 hari itu tak terlihat di kostannya.
Teman-teman kerjanya yang lain pun tidak tau kemana perginya Fanesa.
Luki
stres memikirkan keadaan Fanesa. Ia pun iseng-iseng membuka laci meja kerja
Fanesa berharap menemukan nomor keluarganya untuk dihubungi. Tapi rupanya, tak
ada. Ia kemudian teringat dengan sistem keamanan kantor yang menggunakan CCTV.
Luki
segera pergi menuju ruang security di depan kantor. Dengan sangat terburu-buru
ia meminta untuk pihak security untuk memutar rekaman di kantor ini sekitar 11 sampai 10 hari yang lalu. Dan sebuah fakta pun
akhirnya terungkap.
Ya,
akhirnya Luki tau beberapa hal yang terjadi dengan Fanesa. Fanesa terlihat
mengalami percobaan pembunuhan. Tepat saat malam mengerikan itu Fanesa
memutuskan untuk pergi ke toilet sendirian. Defan, pria gay yang selama ini
ternyata menyukai Luki adalah pelakunya. Selama ini Defan tidak suka dengan
kedekatan Luki dengan Fanesa. Defan cemburu. Sampai akhirnya saat Fanesa yang
tidak tau kalau ternyata Def menyukai sahabatnya itu, bercerita pada Def kalau
sebenarnya Fanesa suka pada Luki. Bahkan Fanesa memperlihatkan fotonya saat
sedang berdua dengan Luki di kedai kopi dekat kostannya. Def yang marah
akhirnya merencanakan pembunuhan itu. Sampai akhirnya malam itu Def melancarkan
aksinya dengan menusuk punggung Fanesa sampai jatuh. Dan setelah apa yang
dilakukan Def, Def pun di perkirakan mengakhiri hidupnya dengan loncat dari
lantai 4 kantor itu, dan jasadnya sekarang sudah di temukan membusuk di
lapangan rumput belakang kantor. Dan bagaimana dengan Fanesa? Tak ada yang tau
dimana dia ataupun jasadnya. Dalam cctv itu setelah Fanesa ditusuk oleh Def,
rekaman itu tiba-tiba runyam dan tak nampak ada aktifitas. Lalu, perempuan yang berlari melarikan diri di malam mengerikan bersama Luki? perempuan yang beerpamitan pulang pada security? Siapa? lalu Fanesa?
Kini,
sebagian orang-orang dikantor itu berkata, bahwa Fanesa mungkin masih hidup. Ia
mungkin sudah berada di rumah orang tuanya di Vietnam. Tapi sebagian lagi
berkata bahwa segala yang sudah terjadi dengan Luki semata-mata bukan hanya karena Def, tapi ada mahluk selain manusia yang sudah mencoba mengajaknya bermain. Mereka bilang Fanesa selalu duduk di mejanya, tepat di samping Luki, padahal mungkin Fanesa sudah tak
ada, hilang dan pergi di telan bumi.
(The End)
gila serem banget nie ceritanya :/
BalasHapusSimak Tantangan Kreatif 1 Kali Kilk , Dapat 1 Kali Kesempatan Mendapatkan Uang 200k & Grand Prize Samsung Y
hemmh lumayan... :)
BalasHapus