Followers

Jumat, 31 Agustus 2012

The Silent of Office



Ini hari ke 83 Luki bekerja di kantor itu. Ia masih bingung dengan apa yang teman-temannya bicarakan. Kepergian Fanesa, sahabat barunya, terlalu mendadak dan tidak jelas kemana. Teman sebelah mejanya berkata, Fanesa mungkin sudah kembali ke rumah ibunya di Vietnam. Tapi sebagian yang lain berkata… Fanesa selalu duduk di mejanya, padahal dia tidak lagi di kantor itu atau mungkin ia sudah pergi di telan bumi.

***
 
“ah, kenapa lagi ini?!” Luki mengeluh keras
“kenapa lagi ki? Programnya eror lagi? Kok gitu terus ya, mungkin harus di upgrade lagi” Fanesa bicara sambil terus menatap kerjaannya di layar komputer.
“tau nih, stres. Aku udah 75% ngegambar, dan hari ini harus approve, dan ternyata…error lagi. Sial!!”
“hemmh, sabar”
“aargh, kyaknya besok aku bakal komplen sama pa Joy, cape banget kalo tiap hari kayak gini terus” Luki tampak stres, rambutnya di koyak-koyak sampai sedikit berantakan.

Hari itu Luki sudah mengeluh yang ke tiga kalinya. Setelah sebelumnya ia mendapat teguran dari Project Manager dengan keterlambatan gambar yang ia buat. Fanessa hanya tersenyum tiap kali mendengar Luki mengeluh dan komat-kamit sendiri. Dan teman-teman kerja yang lain tidak mempedulikan apa yang terjadi pada Luki.

Adzan maghrib terdengar samar-samar dari mesjid yang jaraknya cukup jauh dari lokasi kantor itu. Pak Warno pernah berkata, “Ojo sekali-sekali koe  nyetel musik ne’ wes krungu adzan maghrib, percoyo karo aku! (jangan sekali-sekali kamu memainkan musik jika sudah terdengar adzan maghrib, percaya sama saya!) “. Luki pun masih sangat ingat dengan ucapan pak Warno. Ia bahkan memperingati Fanesa untuk mematikan ipod nya yang sejak siang headsetnya terus menempel di telinganya. Sebenarnya Fanesa sedikit kesal dengan sikap Luki yang setiap hari terus memperingati dia untuk berhenti mendengarkan musik. Tapi ia pura-pura setuju karena ia tau, Luki adalah satu-satunya teman kantor yang mau menjadi sahabatnya.

Entah apa maksud dari ucapan pak Warno itu. Ia hanya bilang “Pamali”. Dan kebetulan sekali Luki yang merupakan keturunan jawa, mempercayai segala hal yang berbau pamali atau sakral lainnya. Kantor itu memang sudah banyak dibicarakan orang. Lokasinya yang berada di pinggiran jalan tol, dan dibelakangnya terdapat lahan kosong berumput yang cukup luas, terbilang cukup sepi untuk ukuran sebuah kantor besar. Sudah 73 hari Luki bekerja di tempat itu. Dan ia sudah tau, ada sesuatu yang selalu membuatnya berbalik tiba-tiba. Sesuatu yang enggan ia sebut saat berada di kantor selepas adzan maghrib. Dan ia bahkan, selalu pura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Akibat program komputernya yang error, akhirnya Luki terpaksa harus mengulang semua pekerjaannya malam itu. Fanesa yang merasa kasihan melihat sahabatnya stres, akhirnya memutuskan untuk ikut lembur bersama Luki. 

“thanks ya Nes, kamu mau nemenin aku”
“iya ngga papa, lagian kemaren-kemaren juga kamu yang suka nemenin aku lembur kan”

Luki tersenyum melihat Fanesa yang lebih dulu tersenyum bicara dengannya. Malam itu mereka hanya berempat saja di kantor besar itu, mereka, seorang security yang berjaga di bawah, dan seorang office boy yang jarang sekali nampak di ruang kerja. 

Sepi, hanya itu yang tergambarkan. Tak ada musik, karena Luki masih mempercayai kata Pamali. Fanesa hanya asik sendiri dengan games angry bird di komputernya. Dan Luki, sibuk dengan pekerjaannya. Seperti tak ada suara selain suara mouse, keyboard dan suara nafas mereka.Tapi kemudian, terdengar suara telepon kantor berdering memecah keheningan kantor itu. 

‘KRIIIIIING….KRIIIIIIIING…’

“duh, sapa sih ni, udah malem juga masih aja nelpon kantor” gerutu Luki sambil beranjak dari kursinya untuk menghampiri telepon yang terus berteriak di tempatnya.
“udah, angkat aja sana!” seru Fanesa
Kemudaian Luki mengaangkat telepon itu “halloo..selamat malam”
‘tuuuuuttt….ciittt’
Tak ada jawaban, hanya suara mesin yang terdengar.
“halo..halo..halo…” luki berkali-kali mengucapkan halo, tapi tak di jawab.
“siapa ki?”
“ngga tau, ngga ada jawaban. Cuman ada suara tuuuuuttt terus ciiiiyyyytt”
“ooh, itu fax ki. Kamu tutup teleponnya sekarang, terus teken tombol biru yang deket tanda bintang!”
“ooohhh, iya iya. Siip” kemudian Luki mencoba petunjuk yang di berukan Fanesa. “ hemmh, aku pikir telepon misterius, haha” Luki tertawa.
“ah kamu ni, ada-ada aja” Fanesa balas tertawa.

Kemudian Luki membiarkan mesin Fax beroperasi sendiri. Ia segera kembali duduk di mejanya dan melanjutkan pekerjaannya. Entah berapa lembar kertas yang keluar dari mesin fax. Luki dan Fanesa bahkan tak peduli dengan kertas-kertas itu. Mereka hanya fokus dengan layar komputernya masing-masing.

2jam berlalu mereka masih menjadi penghuni terakhir kantor itu. Sudah jam 23.45. Biasanya Fanesa sudah berada jauh di alam mimpi, di kamar kosannya. Tapi tidak dengan malam itu. Ia memang sudah sangat mengantuk sekali. Matanya merah dan sayu. Entah sudah berapa kali ia menutup mulutnya karena ia terus-terusan menguap.

“Ki, pengen pipis. Anterin yu..!” pinta Fanesa.
“Duh, tanggung nes, bentar lagi ya”
“emmhh..udah ngga kuat. Ayo lah..” Fanesa terus membujuk sambil memegang perutnya sambil menahan ingin buang air kecil.
“aduhh..seriusan, ini tanggung banget. Ntar keburu lupa lagi yang mau di gambarnya” Luki beralasan lagi.
“iihhh, Luki. Yaudah deh sendiri aja.hehe” Fanesa tersenyum kuda.
“yakin nih Nes, ga mau nunggu aku bentaran?” tanya Luki sambil membalikkan badannya melihat Fanesa yang berlari kecil menuju Toilet.
“Iyap..its oke maplen” jawab Fanesa terburu-buru sambil mengangkat jari jempolnya.

Akhirnya Luki membiarkan fanesa pergi sendirian ke toilet. Sebenarnya, Luki tidak ingin di biarkan sendiri saja di ruang kantor itu. Ya, sebelum-sebelumnya dia memang sudah beberapa kali merasakan hal-hal yang tidak wajar di kantor itu. Tapi ia selalu memegang pesan mendiang eyangnya untuk tidak pernah menceritakan segala hal yang tabu dan di luar nalar di tempat kejadian dari cerita itu. Hingga malam itu pun, ia masih terus menutup mulut.
‘brak’ suara buku terjatuh di meja Aldo. Mata Luki tajam-tajam mencari sumber suara itu. Ia hanya berdiri dan melihat dari tempatnya saja. Jantungnya masih biasa saja. Setelah melihat buku yang tergeletak di bawah depan meja Aldo, ia kemudian kembali duduk dan mengerjakan pekerjaannya itu. 

Sudah 15 menit lamanya Fanesa pergi ke toilet. Luki mulai merasakan ada yang tidak beres dengan Fanesa. Muncul kecemasan di dadanya. Hingga akhirnya ia berdiri dan memutuskan untuk melihat keadaan Fanesa di Toilet. Ia pun berjalan sedikit terburu-buru. Namun sesampainya ia berdiri di depan pintu, tiba-tiba ia teringat akan fax yang masuk tadi. Ia pun sedikit berbalik dan menghampiri lembaran-lembaran kertas yang masih menempel di mulut mesin fax. Saat ia membuka lembaran-lembaran kertas itu, rupanya itu hanya kertas kosong. Tak ada tulisan apapun. Baru sampai di 2 lembar kertas terakhir, ia menemukan sebuah tulisan merah. 

SEE YOU IN TOILET DEAR...

“arggh..” Luki mengerang. Ia baru tersadar, bahwa sebenarnya memang ada yang tidak beres. FANESA? TOILET? FAX ITU? 

***



Ya semuanya berkecamuk dalam otaknya. Tanpa pikir panjang ia lantas berlari menuju toilet wanita di ujung koridor kantor. Ia kemudian masuk tanpa permisi. 

“Nes…Fanes..kamu dimana Nes?” Luki memanggil-manggil Fanesa dengan sangat panik sambil terus mengetuk semua pintu toilet. Tapi rupanya tidak ada jawaban sama sekali. Ia pun membuka satu persatu pintu. Hingga akhirnya ia berhenti di pintu ke 6. Seperti terdengar suara air yang menetes perlahan. Lembut sekali. Luki terdiam dan mendekatkan telinganya ke arah daun pintu. Pelan sekali gerakannya. Sampai daun telinganya itu tepat menempel di daun pintu tiba-tiba ‘im so lonely broken angel..im so lonely…’ Luki terkejut bukan kepalang. Ternyata handphonenya berdering sangat kencang. Lantas kemudian cepat-cepat mengambil handphone di saku celananya itu. Dan ternyata itu telepon dari Fanesa.

“Halo Nes, kamu dimana?” Luki menjawab telepon dengan terengah-engah.
“Ki..” suara yang sangat pelan terdengar.
“Iya Nes, kamu dimana? Cepet jawab sekarang!!” Luki sedikit membentak. Alisnya meruncing.
“kiii...hhhhhh.” ‘krrsssskkkk…krrsskk…tuuuuttt..ciiyyyttt’ hanya terdengar suara pelan yang memanggil Luki, dengan suara nafas yang berat dan seperti suara telepon dengan sinyal yang buruk.
“Nes, please jawab Nes, kamu dimana?! Please serius buat kali ini!! FANESSS!!!!” emosi Luki memuncak. 
Jantungnya berdetak sangat kencang. Suhu tubuhnya menurun drastis. Dingin.
Luki semakin panik. Ia buru-buru keluar dari toilet perempuan. Matanya terus mencari keberadaan Fanesa. Dan ia baru tersadar satu hal. Perkataan pak Warno, dan ia baru saja melanggarnya. Nada dering ponselnya yang keras itu sudah memecah keheningan kantor itu, apalagi barusan di toilet. 

Luki lantas cepat-cepat berlari menuju ruang kerjanya. Ia mendapati ruang kerjanya itu sudah gelap. Sepertinya ada yang mematikan lampunya. Namun ada satu komputer yang menyala. Tapi itu bukan komputernya. Luki pelan-pelan mencari saklar untuk menyalakan lampu di ruangan itu. Perlahan sambil meraba-raba benda di depannya, dengan bantuan cahaya dari handphonenya yang redup. 

“aaauuuww..” Luki menjerit sakit. Kakinya menabrak sebuah kursi di samping kanannya. Baru kemudian ia kembali berjalan. Tangannya bergetar cukup hebat. Ya, rasa takutnya memang sudah tertabung sejak lama, dan  saat itu puncaknya. Karena ia baru saja melanggar kepercayaannya sendiri akan hal pamali, sehingga membuat hatinya bergetar takut.

Tangannya yang memegang handphone, sambil terus berjalan mencari saklar tiba-tiba gerakan tangannya itu melewati sebuah sisi di samping kirinya. Sekilas terlihat seperti ada seseorang. Ia terkejut. Cepat-cepat melangkah mundur. Jantungnya semakin kencang. Tapi ia ingin sekali memastikan siapa orang di kirinya itu. Pelan-pelan ia mengarahkan cahaya handphonenya ke arah orang yang tadi di lihatnya..pelan..pelan..dan semakin dekat. Dan tepat di sisi yang persis…….ternyata tidak ada siapa-siapa.

‘ceklek’ lampu menyala. Ternyata punggung Luki tidak sengaja menekan saklar yang menempel di dinding belakangnya. Ia perhatikan setiap sudut ruangan untuk memastikan kalau semuanya aman. Dan matanya tertuju pada sebuah komputer temannya di pojok ruangan yang tiba-tiba menyala. Padahal komputer Luki dan Fanesa yang tadi masih menyala saja kini sudah mati. Luki berjalan ke arah komputer yang menyala itu. Tak ada hal aneh. Ia hanya melihat sebuah foto. Sepertinya Luki mengenali lokasi foto itu. Ya, itu foto di kantornya. Foto di ruang meeting. Dan ada satu benda yang aneh di foto itu. Sebuah lilin di tengah meja meeting yang sudah setengah mencair dalam keadaan menyala. Luki keheranan. Dalam hati ia berkata ‘loh, bukannya di ruang meeting tidak boleh membawa benda-benda yang berhubungan dengan benda tajam dan api ya, lagian untuk apa lilin itu. Untuk apa Dea menyimpan foto seperti ini’ Luki kemudian mengabaikan apa yang baru dilihatnya itu. Baru 3 langkah ia berjalan meninggalkan komputer. Rupanya foto lilin di atas meja itu tiba-tiba padam dengan sendirinya, padahal itu adalah sebuah foto yang tidak mungkin dpat berubah seperti itu. Dan Luki tidak melihatnya.

Luki duduk di mejanya. Ia lantas mengambil tas dan ingin cepat-cepat keluar dari ruang kerja dan meninggalkan kantor itu. Namun saat ia hendak keluar, ruapanya pintu ruang kerjanya itu terkunci secara otomatis. Ia melihat dari dalam ruang kerja yang hanya dilapisi kaca itu tak ada satu orang pun di luar ruangan yang dapat ia panggil untuk menolongnya. Akhirnya Luki ingat sesuatu, security. Ya ia tau bahwa di kantor itu ada seorang security yang bertugas untuk jaga malam di bawah. Ia lantas segera berusaha menelponnya.

‘tuuuuuuutttt……tuuuuuuutt’ 

telepon dari Luki itu tak kunjung di angkat oleh security di bawah. Ternyata di bawah sana, security tengah asik mendengar alunan musik dangdut dari radio yang baru saja dibelinya. Luki kecewa. Kemudian ia mencari cara lain agar ia dapat keluar dari ruang kerjanya itu. Ia membuka laci meja kerja Fanesa, berharap menemukan nomor sandi pintu di buku catatan Fanesa.
“arggh..ini dia” sebuah halaman di buku kecil Fanesa terbuka, dan bertuliskan daftar nomor sandi, termasuk nomor sandi pintu ruang kerja. Luki pun cepat cepat memasukkan nomor sandi dengan sangat panik dan terburu-buru. Tangannya seperti kesusahan saat menekan tombol sandi itu, tapi akhirnya pintu itu terbuka.

Tanpa pikir panjang Luki berlari. Tapi dari kejauhan ia mendengar komputer Dea yang baru saja ia lihat tadi, tiba-tiba ada suara musik classic era jaman Belanda. Tapi Luki tidak mau kembali. Kuduknya sudah terlalu merinding. Saat ia mendekati Lift, rupanya Lift sudah tidak beroperasi di jam malam. Ia pun cepat cepat  berlari menuju tangga. Saat ia berlari tiba-tiba Fanesa memanggil dari ujung lorong di belakangnya. 

“Luki..” panggilan yang cukup keras dan menggema
Luki berhenti tiba-tiba. Ia spontan membalikkan pandangannya. “Fanes, kamu dari mana? Ayo kita pulang!” ada sedikit perasaan lega didanya setelah melihat wajah Fanes.
“aku pengen balik ke ruangan kita, ada sesuatu yang tertinggal. Mau antar?” Jawab Fanes lembut.
“oke!” luki tak menolak sedikitpun. Ia berjalan di belakang Fanes. Tak ada perbincangan diantara keduanya. Namun tanpa diduga, Fanes bernyanyi lembut dalam perjalannannya itu menuju ruang kerja. Sebuah lagu barat kanak-kanak, Twinkle twinkle little star. Luki terkejut. Luki yang masih percaya dengan ucapan pa Warno spontan langsung memperingati Fanes untuk Diam.
“ssssttt…Nes, jangan nyanyi. Kamu ingat kan!! Ssstt..”
Fanes tak  menjawab. Tapi ia menghentikan nyanyiannya itu. Mendadak Fanes berhenti di depan pintu ruang meeting. Fanes tegak berdiri menghadap pintu itu, melihat dalamnya dari kaca di sela pintu.
“Bisa kamu ambilkan aku map yang tertinggal di dalam, sementara aku ke ruang kerja kita?” pinta Fanesa tanpa melihat wajah Luki.
“hah? Kenapa harus aku sendiri? Kenapa tidak kita masuk bersama-sama?” tanya Luki sedikit protes.
“bukankan kamu ingin kita cepat-cepat keluar dari kantor ini, iya kan?
“ehmmm, baiklah. Nanti aku menyusul ke ruang kerja kita” Luki menyerah dan setuju.
“tunggu saja di sini, aku akan segera kembali” jawab Fanesa sambil terus berlalu.

Akhirnya Luki masuk ke dalam ruang meeting yang gelap itu. Lagi-lagi ia harus menghadapi kegelapan. Sebenarnya ia benci harus mengambil map yang Fanesa maksud di dalam situ. Pikiran Luki teringat akan sebuah hal. Komputer Dea yang menyala di ruang kerja. Ya, foto itu. Di sini, di tempat gelap yang ia masuki sekarang. Ia cepat-cepat menyalakan saklar lampu di samping kanan pintu. Hingga akhirnya seluruh ruang meeting terlihat jelas di matanya. Lilin itu, ternyata masih ada di atas meja. Masih menyala. Padahal tadi saat lampu mati, tak ada sumber cahaya sama sekali, lalu lilin itu?

Luki cepat-cepat menggapai map biru di pinggir meja. Dan tiba-tiba lampu di ruang itu kembali mati dengan sedirinya. Baru kali itu lilin yang sebelumnya tak nampak di kegelapan kini menyala cukup terang. Sinar jingga itu, menerangi separuh bagian ruangan. 

“apalagi ini?!” Luki bicara sendiri. Ia kemudaian membalikkan badannya untuk segera keluar dari ruang itu. Namun ia terkejut bukan kepalang saat ia mendapati pintu yang sebelumnya ada kini hilang. Ia meraba-raba bagian tembok ruang meeting tapi ternyata pintu itu benar-benar hilang. Dan saat ia berbalik badan melihat lilin dan sebrang meja sana. Ada seseorang di depannya. Seperti sesosok pria yang sedang tertidur di meja meeting. Tangannya tertumpu pada meja, dan wajahnya bersembunyi di pelukan tangan.
“Hey, siapa kamu?!” Luki bertanya sambil menggertak.
Pria di depannya tak menjawab. Pria itu masih tertidur dengan posisi yang sama.
“Hey, ngga usah pura-pura tidur. Kamu mau apa?” Luki kembali menggertak, pura-puramenjadi seorang kesatria pemberani.

Pria misterius itu bergerak. Perlahan-lahan pria itu mengangkat kepalanya, pelan-pelan sekali. Hingga akhirnya terlihat jelas sesosok wajah yang sangat mengerikan.
Luki berteriak sangat keras. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Dan pria misterius itu berkata, “aku mau kamu”
Seketika itu juga Luki yang ketakutan melemparkan barang-barang yang ada di ruang meeting ke arah pria itu. Apapun yang ada di dekatnya. Sampai akhirnya ia lemas dan tangannya menyentuh dinding di belakangnya.
“hah, pintu..” ya, ia kambali menemukan pintu yang barusan hilang. Cepat-cepat ia lari dari ruangan itu, dan pergi manuju ruang kerja untuk menjemput Fanesa.
Di tengah perjalanan ia berlari, Luki mendengar Fanesa memanggilnya.
“Luki, sini!” panggil Fanesa dari ujung tangga menuju lantai bawah.
“hah, Nes.” Tanpa basa-basi Luki lantas berlari sambil menggenggam tangan Fanesa yang ikut berlari di belakangnya. Nafas Luki sangat keras terdengar. Dan sebuah pisau terjatuh dari lantai atas, hampir saja mengenai kepala Luki.
“aarrggh..sial” Luki terkaget melihat pisau itu. Kepalanya mencari-cari darimana pisau itu berasal. Fanesa tak berkomentar apa-apa. Ia hanya diam. “woy, siapa sih? Jangan ganggu kita!’ bentak Luki dan kembali berlari.  

Fanesa kembali bernyanyi lagu twinkle-twinkle little star. Luki sekali menggerutu. Tapi Fanesa tak menghiraukan gertakan temannya itu. Fanesa malah bernyanyi semakin keras. Membuat Luki kesal dan marah. “Nes, kamu tuh sengaja banget ya nyanyi-nyanyi gitu. Mau kamu apa?”
Fanesa memandangi wajah Luki yang marah. Jarinya didekatkan pada wajah Luki. Telunjuknya bergerak dari atas kening Luki, bergerak turun perlahan, ke mata, hidung, bibir, dagu, hingga telapak tangan Fanesa seutuhnya menempel di pipi kanan Luki. Dan ia berkata “aku mau kamu”.
“Halo Nes..hey” Luki seperti heran dan tidak percaya. Ia mencoba menyadarkan Fanesa takutnya Fanesa sedang tertidur sambil berdiri. Tapi apa yang Luki lihat di belakang Fanesa, sesosok pria yang ia lihat di ruang meeting sebelumnya. Berdiri menghampiri dengan sebilah celurit di tangannya.
“awas nesss!!!” Luki memperingati Fanesa sambil memeluknya. Luki yang terkejut akhirnya menarik Fanesa pergi dan segera berlari. Di tangga itu, berkali-kali pria misterius itu mencoba mengayunkan celurit di tangannya. Tapi Luki selalu berhasil menyelamatkan diri dan menjaga Fanesa. Sampai akhirnya ia tiba di lantai satu kantor itu. Ia sempat bingung dimana pintu keluar gedung utama. Saking paniknya ia mendadak lupa. Dan tangan Fanesa dibiarkan terlepas. Luki berlari kesana kemari mencari pintu untuk keluar. Sampai akhirnya ia keluar dan menabrak seorang security yang tengah sedang berjalan membawa secangkir kopi.
“MasyaAlloh pa, kopi saya eeehhh kopi saya” seru seorang security.
“aduh maaf pa, maaf. Saya tadi…itu tadiii…” Luki bicara dengan sangat terbata-bata.
“eh..eh..eh…santai dulu pak. Cerita pelan-pelan” bujuk security menenangkan.
“aahhh, panjang ceritanya. Eh..bentar-bentar. Temen saya mana ya pa? tadi perasaan bareng sama saya. Aduh jangan-jangan ketinggalan di dalem lagi” Luki menepuk keningnya menyesali kalau Fanesa tidak ada disampingnya.
“ Mba Fanesa ya pa, hoalah..mba Nesa udah pulang kali pa, dari 2 jam yang lalu. Tadi dia bilang, titip Pa Luki gitu katanya. Hahaha, tumben banget mba Nesa bilang gitu. Terus dia pergi, ngga tau deh naik apa sudah malam begini.
“hah, ngga usah bercanda deh pa!” Luki tidak yakin dengan ucapan security.
“yaelah pa.. untuk apa juga saya bohong. Yasudah pa, selamat istirahat, hati-hati pulangnya. Udah malem ngga usah ngebut-ngebut. Wasalamualaikum saya balik ke pos dulu pa” bapak security meninggalkan Luki yang masih berdiri tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi dengannya barusan. Mesin fax, toilet, fanesa, komputer Dea, foto ruang meeting, lilin, pria misterius yang mencoba membunuhnya, ya semuanya di luar nalarnya. Antara percaya dan tak percaya. Anatara nyata dan tidak. Antara dunia manusia, dan dunia lain.

***

Ini sudah hari ke 83 Luki bekerja di kantor itu. Dan sampai saat itu Fanesa sudah tidak pernah muncul di kantornya. Ya, sejak malam yang mengerikan itu. Tidak ada yang tau kemana Fanesa pergi. Handphone Fanesa tidak pernah aktif. Ibu kostnya bilang, Fanesa memang sudah 10 hari itu tak terlihat di kostannya. Teman-teman kerjanya yang lain pun tidak tau kemana perginya Fanesa.
Luki stres memikirkan keadaan Fanesa. Ia pun iseng-iseng membuka laci meja kerja Fanesa berharap menemukan nomor keluarganya untuk dihubungi. Tapi rupanya, tak ada. Ia kemudian teringat dengan sistem keamanan kantor yang menggunakan CCTV.
Luki segera pergi menuju ruang security di depan kantor. Dengan sangat terburu-buru ia meminta untuk pihak security untuk memutar rekaman  di kantor ini sekitar 11 sampai 10 hari yang lalu. Dan sebuah fakta pun akhirnya terungkap.

Ya, akhirnya Luki tau beberapa hal yang terjadi dengan Fanesa. Fanesa terlihat mengalami percobaan pembunuhan. Tepat saat malam mengerikan itu Fanesa memutuskan untuk pergi ke toilet sendirian. Defan, pria gay yang selama ini ternyata menyukai Luki adalah pelakunya. Selama ini Defan tidak suka dengan kedekatan Luki dengan Fanesa. Defan cemburu. Sampai akhirnya saat Fanesa yang tidak tau kalau ternyata Def menyukai sahabatnya itu, bercerita pada Def kalau sebenarnya Fanesa suka pada Luki. Bahkan Fanesa memperlihatkan fotonya saat sedang berdua dengan Luki di kedai kopi dekat kostannya. Def yang marah akhirnya merencanakan pembunuhan itu. Sampai akhirnya malam itu Def melancarkan aksinya dengan menusuk punggung Fanesa sampai jatuh. Dan setelah apa yang dilakukan Def, Def pun di perkirakan mengakhiri hidupnya dengan loncat dari lantai 4 kantor itu, dan jasadnya sekarang sudah di temukan membusuk di lapangan rumput belakang kantor. Dan bagaimana dengan Fanesa? Tak ada yang tau dimana dia ataupun jasadnya. Dalam cctv itu setelah Fanesa ditusuk oleh Def, rekaman itu tiba-tiba runyam dan tak nampak ada aktifitas. Lalu, perempuan yang berlari melarikan diri di malam mengerikan  bersama Luki? perempuan yang beerpamitan pulang pada security? Siapa? lalu Fanesa?

Kini, sebagian orang-orang dikantor itu berkata, bahwa Fanesa mungkin masih hidup. Ia mungkin sudah berada di rumah orang tuanya di Vietnam. Tapi sebagian lagi berkata bahwa segala yang sudah terjadi dengan Luki semata-mata bukan hanya karena Def, tapi ada mahluk selain manusia yang sudah mencoba mengajaknya bermain. Mereka bilang Fanesa selalu duduk di mejanya, tepat di samping Luki,  padahal mungkin Fanesa sudah tak ada, hilang dan pergi di telan bumi.

(The End)

2 komentar:

nyang lain niihh..