Followers

Selasa, 04 Desember 2012

Tangan Langit Malam (part-1)



Ini bukan pertama kali. Entah sudah berapa episode Aku merasa menjadi orang paling penakut di muka bumi. Bahkan di saat aku sedang bersama orang-orang terdekatku. Sekalipun itu dalam keramaian. Mereka..wajah-wajah itu, entah mengapa selalu tak sengaja kulihat. Berlari, berdiri, terduduk, terdiam, mereka mengoyak ketenanganku. Hebat? Tidak. Sama sekali tidak. Aku ingin menjadi biasa. Apapun yang terjadi padaku. Bertahan untuk tetap seperti ini dan mulai menganggap biasa. Atau bahkan tidak sama sekali.

Malam yang panjang. Selesai sudah aku mengikuti kegiatan himpunan yang menyita hampir separuh energi dan pikiranku. Tubuhku rasanya ingin segera menjatuhkan diri di atas ranjang merah muda di kamar kosan. Tapi aku masih saja terus bercengkrama dengan beberapa teman ku yang sepertinya sama lelahnya dengan ku di koridor  Tak ada yang aneh. Semuanya tampak biasa.

Beberapa dari kami mulai membuka obrolan tentang senior-senior yang galak dan mengerikan.  Hari itu memang senior-senior ku yang berlaku sebagai tim Sadis benar-benar terlihat seperti algojo yang diutus untuk  menyiksa dan menguji mental seluruh mahasiswa angkatan ku. Dan tentunya aku pun tak luput dari kemarahan dan makian para senior. Walau akhirnya, semua kondisinya menjadi baik-baik saja.

Sudah semakin malam. Anjng-anjing kampung di kampus sudang terdengar semakin bersuara liar. Bahkan ku lihat di sekitar tempat kami berkumpul sudah semakin sunyi. Tak ada keramaian yang tampak seperti sebelumnya. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk segera pulang dan beristirahat. Kemudian kami pun bersama-sama berjalan menuju tempat parkir di dekat gedung merah.  Sepanjang kami berjalan, hanya lampu-lampu temaram dan cahaya bulan yang menaungi langkah aku dan 7 temanku.
                                                                                                                               
Dan sampailah aku di depan sebuah gedung yang mereka sebut itu Ikasi. 2 orang temanku memutuskan untuk kembali ke lokasi tempat kegiatan kami barusan, sedangkan aku dan 5 orang lainnya terus berjalan menuju parkiran. Tapi..sebentar. Aku melihat seseorang berjalan 3 meter di samping kiri kami dalam kegelapan. Aku mencoba memicingkan mataku untuk melihat wajah itu lebih jelas. Tapi tetap saja gelap dan tak terlihat jelas. Kaki itu..ya kaki itu terlihat semakin tinggi. Dan aku segera menggenggam tangan teman di sampingku. Ku genggam erat-erat, sangat erat.
“Mey, kau baik-baik saja” tanya Dita, temanku.
“hemh..” aku menganggukan kepala.
Aku terus bicara dalam hati, memaki diriku sendiri. ‘hey, berhenti berimajinasi. Berhenti melihat apa yang seharusnya tak kau lihat. Tutup matamu!!!’. Tapi aku terus saja melihat ke arah itu. Sosok itu, tak berhenti mengikuti kami berjalan. Tapi tubuh hitam itu, semakin menjulang tinggi. Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Ingin bicara dan menunjukkan pada teman-temanku atas apa yang sedang kulihat ini. Tapi mulutku, terkunci rapat-rapat. Langkahku berat. Lututku rasanya hampir telepas dari tempurungnya. Aku berdoa dalam hati. Membaca ayat suci yang ku ingat saat itu. Berharap aku bisa menaklukkan ketakutanku sendiri. Dan akhirnya…selesai. Sosok itu tak kulihat lagi.

Nafasku hampir habis karena kejadian itu. Tenaga ku melemah separuh dari sebelumnya. Tapi aku harus kembali fokus. Karena perjalananku belum selesai. Aku harus pulang membawa motor sendirian malam itu. Sendirian.

“Mey, kamu yakin tak ingin menginap di kosan ku?” tanya Feli.
“hemh, tidak Fel. Biar aku pulang saja. Lagi pula aku tidak membawa pakaian ganti” jawabku.
“yasudahlah kalau begitu. Hati-hati di jalan. Kabari aku jika sudah tiba di rumah”
“yap, thanks Fel. Oke semuanya..aku pulang duluan ya” aku berpamitan untuk pulang lebih dulu dari mereka.

Perjalanan pulang ke rumah pun di mulai. Entah sudah jam berapa saat itu. Tapi yang jelas, aku tidak melihat kendaraan lain ramai berlalu lalang di sekitar ku. Hanya beberapa titik lampu dari kejauhan yang kulihat samar-samar. Dan tiba-tiba aku teringat pada pesan salah seorang teman ku.
“jika suatu malam kamu berkendara sepeda motor sendirian saja melewati jalan depan kampus, maka jangan sekali-sekali kamu melihat kaca spion untuk melihat kebelakang”. Hemhh..entah karena apa teman ku bicara seperti itu. Tapi kalimat itu membuat nyaliku menciut seketika saat itu. Ingin sekali aku tancap gas dan segera meninggalkan jalan itu dengan kecepatan tinggi. Tapi aku tidak sanggup. Ketakutanku membuatku menjadi lemah dan lelet. Tanganku bergetar hebat. Belum selesai dada ku dibuat berdegup karena kejadian di depan Ikasi, dan sekarang aku harus di hadapkan dengan ketakutan lain di luar kampus.

Mataku mulai menjadi sompral. Rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku. Sekitar 7 meter dari pintu klinik kampus, aku menjatuhkan pandanganku ke arah kaca spion. Waktu rasanya seperti terhenti beberapa saat. Telingaku seperti tak mendengar suara apapun. Nafasku melambat. Aku terdiam melihat kaca spion motor ku. ……………..disana…..di kaca spion motorku…………tak ada hal yang aneh. Semuanya biasa saja. Hanya ada pohon dan kegelapan. Aku pun kembali bernafas lega.

Tapi apa yang kulihat di depan gerbang belakang kampus 10 meter dari arahku. Sosok pria tua berambut putih lusuh dengan sebuah karung di tangannya. Wajahnya hanya menunduk ke tanah. Tak ada suara. Hanya kebisuan. Ku coba untuk memalingkan pandangan dan berharap saat aku kembali melihat sosok itu sudah pergi. Tapi rupanya tidak. Tangan itu..melambai-lambai. Seolah ingin meminta tumpangan ke arahku. Tak ada pikiran kasian dan ingin berhenti saat itu. Dada ku hampir tak kuat menahan jantungku yang terus berdegup hebat. ‘tolong, bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Ini mimpikan? Cukup..aku menyerah’. Rasanya ingin sekali aku berteriak kencang saat itu. Tapi kurasa hanya akan menjadi sia-sia. Karena tak ada seorang pun yang melintas di jalan tersebut. Dan mulutku tak berhenti berdzikir. Pikiranku kacau. Berkecamuk berbagai hal-hal mengerikan yang pernah ku lihat sebelumnya. Aku sangat ketakutan. Sampai akhirnya aku berhasil menjauh dari tempat mengerikan itu dan kembali menuntaskan perjalanan pulangku malam itu.

Keesokan harinya, tak banyak kalimat yang keluar dari mulutku. Rasanya malas sekali aku bicara dengan orang-orang di sekelilingku. Kejadian semalam membuatku merasa menjadi orang paling menyedihkan dan penakut saat itu. Aku menjadi takut untuk berlama-lama diam di tempat sepi. Bahkan di rumah pun di siang hari aku menjadi sangat sensitif terhadap cermin dan suara-suara kecil di sekelilingku. Aku tidak pernah berharap dapat melihat sosok aneh itu sejak dulu. Tak pernah sedikitpun aku berangan untuk terus melihat mereka. Aku ingin menjadi biasa, seperti teman-temanku yang biasa dan hidup normal. Tapi kenyataannya aku ya tetap aku. Dan…mereka..akan kembali kulihat.

*********

2 komentar:

nyang lain niihh..